3# Luka

39 9 10
                                    

Tidak semua luka itu menganga,
Mereka kadang ada di dalam diri,
Menggerogoti dari dalam,
Diam-diam.

....

"Gue enggak mau," ucap Keira telak. Tak bisa dibantah, keras seperti batu, cewek itu memang merepotkan.

Putra yang sedari tadi duduk di depannya, menghela napas lelah. "Kei ..." bujuknya.

Keira menggeleng. "Pokoknya enggak! Gue bilang enggak ya enggak!" Gadis itu masih keukeuh dengan pendiriannya. Lama-lama, Putra bingung juga.

"Kei, lo gak mau pulang. Gak mau juga diajak ke restoran atau cafe. Terus lo mau kemana, hm?" tanyanya. Hari semakin gelap, Putra takut Keira sakit.

"Bodo amat. Kalau lo memang teman gue, harusnya ngerti dong, temani gue disini." Keira bersidekap. Udara malam memang dingin, apalagi dia hanya memakai seragam yang tipis.

Putra kembali menghela napas, susah melawan Keira jika dia sudah dalam mode marahnya. Putra tidak akan menang. Dia yakin itu.

Keira menghembuskan napasnya pelan, lalu memandang langit yang mulai dihiasi bintang-bintang. Tanpa kata, tanpa suara, Putra tahu Keira sedang ingin menenangkan diri. Putra mengerti, sangat mengerti.

Tapi masalahnya, hari sudah malam. Sudah hampir jam sembilan. Dan Putra tidak mau mengambil resiko. Membawa anak gadis di malam hari seperti ini memang sangat berbahaya. Apalagi, sekarang mereka ada di atas jembatan, menyenderkan tubuh ke pembatasnya. Tapi melihat Keira yang begitu damai, membuat Putra tidak tega juga.

Untung saja jalan sepi. Jadi tidak ada tatapan-tatapan dasar-anak-muda-zaman-sekarang. Hanya ada mereka berdua.

"Put," panggil Keira, pelan. Putra menoleh, menatap wajah cewek itu dengan penasaran.

"Besok, gue mau jahilin orang lagi, ah. Bosen gue." Tak terduga, Keira mengatakannya dengan raut jahil. Putra menatapnya, speechless.

"Hah?"

"Iya, gue mau jahil temen sekelas gue, Tanti!" Keira tampak sumringah. Putra berkedip sekali, lalu menggeleng-geleng.

"Lo udah gak papa, Kei? Serius?" tanyanya. Sebelah tangannya naik, lalu menempel di kening Keira. Gadis itu berdecak sebal lalu menepisnya dan melompat berdiri. Cemberut.

Aduh, Putra salah bicara lagi.

"Kei ...." panggilnya.

Keira bergeming.

"Keira ...."

"Bodo amat."

"Keikei ...."

"Gak. Males gue dengerin elo." Keira cemberut. "Gue mau pulang, sekarang."

Diam-diam, Putra menghela napas, lega. Segera, cowok itu beranjak menuju motor hitamnya dan menyalakan mesinnya. Dia menatap Keira yang tanpa suara sudah berada di belakangnya, dengan bibir yang agak maju.

Ngambek.

....

Rabu pagi, Putra duduk sendirian di bawah pohon, seperti biasa menunggu Keira. Bel masuk akan berbunyi sebentar lagi, tapi cewek itu belum terlihat. Putra melirik jam tangannya sekali lagi, lalu melempar pandang ke arah gerbang sekolah. Belum ada tanda-tanda Keira. Pesan dari Putra tidak dijawab, handphone nya pun tidak aktif. Sedikit, Putra merasa khawatir. Keira tidak biasanya absen tanpa memberitahunya.

"Kemana sih tuh anak? Katanya kemarin mau ngerjain teman sekelasnya?"
Satpam sekolah sudah menutup gerbang, bersamaan dengan bel yang berbunyi kencang. Perasaan Putra tidak enak.

Cowok itu kembali berjalan menuju kelasnya, yang ada di lantai empat. Naik-turun tangga memang melelahkan, tapi biasanya diwarnai canda tawa dia dan Keira. Putra rindu Keira, meski baru tadi malam mereka bertemu.

Sesampainya di kelas, Putra kembali memelototi handphone nya, kembali mengirim pesan pada Keira. Cewek itu tidak online, kemana dia?

Tak bisa dipungkiri, Putra merasa cemas. Dan khawatir.

....

Suara erangan lirih itu terdengar kembali, bersamaan dengan sesuatu yang menetes, baik dari mata dan lengan gadis itu. Keira terisak, memejamkan matanya dan mengambil sehelai tisu. Diusapkannya pada lengannya yang telanjang, membuat warna merah menodainya. Keira menghela napas, perasaannya jauh lebih tenang sekarang. 


Cewek itu kembali memasang telinga, mendengarkan dalam diam. Samar-sama, Keira dapat mendengar suara orang berdebat di luar kamarnya, mungkin di ruang tamu. Suara familiar yang pernah membuat Keira tenang. Suara orangtuanya. Mereka berdua bertemu hari ini dan bagaikan radon yang bertemu air, mereka meledak dalam pertengkaran.

Keira terdiam, masih memasang telinga. Suara pertengkaran sudah tak terdengar, yang tersisa hanyalah isak tangis sang ibu yang terdengar samar. Keira menahan napas sejenak, lalu menaruh silet kecil berbalut darah ke lantai yang dingin. Matanya menatap nanar dan gadis itu kembali terisak. Kenapa sepertinya masalah hidupnya begitu banyak?

Keira tidak akan merasa keberatan sama sekali jika mama dan papa berpisah. Keira tidak apa-apa menjadi anak broken home. Itu semua akan lebih baik daripada melihat mama dan papanya saling memusuhi satu sama lain dan saling membentak.

Lalu terdengar suara langkah kaki yang mendekat secara tergesa.

Keira menahan napas.

Lalu tahu-tahu pintu kamarnya sudah digebrak dari luar.

"KEIRA!"

Keira bergeming.

"KEIRA! BUKA!"

Setetes airmata mulai jatuh kembali. Keira menutup telinganya. Berisik. Berisik. Berisik.

"KEIRA! MAMA BILANG BUKA!" gebrakan berlanjut, lalu diam. Dilanjut suara isak tangis samar.

Keira tersentak. Dia benci mendengar mama menangis. Dengan segera, gadis itu berdiri dan membuka pintu. Sebuah refleks yang kemudian disesalinya.

Mama berdiri, melotot padanya. Wanita itu masuk ke dalam kamar, lalu sekuat tenaga melayangkan tangan kanannya ke pipi Keira.

Keira tersentak. Pipinya terasa sakit. Mama berdiri dengan napas memburu, lalu menarik rambut gadis itu kencang. Keira berusaha menahan jeritan. Gak papa, batinnya. Mama pantas buat marah.

"Dasar anak gak tahu diuntung! Durhaka sama orangtua! Dasar pembawa sial!" Mama mendorong Keira ke belakang, hingga gadis itu membentur tembok. Matanya mulai memanas, tapi Keira menggeleng. Enggak boleh nangis. Kasihan mama.

"KAMU YANG BUAT PAPA PERGI! KENAPA?!?" Mama masih memelototinya.

Keira menunduk, tak berani bergerak sedikit pun. Satu gerakan kecil saja bisa memancing amarah mama kembali. Jadi Keira memilih diam.

"JAWAB!" satu pukulan mengenai kepalanya. Keira tetap menunduk.

Mama kembali diam, napasnya terengah. Keira menunduk dalam. Jangan gerak, jangan lawan. Nanti Mama tambah sedih.

Satu-satunya hal yang paling Keira benci adalah menyakiti Mama. Membuat Mama sedih. Mama boleh menyakiti Keira, tapi jangan menyakiti dirinya sendiri.

Tidak boleh.

Mama bagaikan tersentak. "Kei ...?" panggilnya. Rautnya terkejut melihat Keira yang ketakutan dan tak bergerak. Ditambah lengannya yang kembali meneteskan darah.

"Kei, sayang. Kamu gak pa-pa? Ya ampun, maafin Mama ... Mama gak sengaja." Dengan panik, wanita itu meraih tangan Keira dan mengelusnya. Keira tersenyum lalu menarik lengannya.

"Gak pa-pa, Ma." Sebuah senyum berusaha Keira tarik. "Keira gak pa-pa."

....

Andromeda, 1 Mei 2019

NYATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang