4 # Putra

18 3 0
                                    

"Kei?" suara langkah kaki yang diikuti pintu yang membuka membuat Keira mengangkat kepalanya. Matanya sembab dan pipinya basah. Wajahnya memerah dan pasti dia kelihatan jelek sekali saat ini.

Putra berdiri diam di ambang pintu, menatap sahabatnya yang terduduk di lantai dengan rambut acak-acakan dan penampilan yang berantakan. Mata mereka bertemu.

"Hei," sapa Keira pelan.

"Hei," Putra menyapa balik. Tangannya yang memegang plastik berisi martabak manis kesukaan Keira mengeras. Diremasnya plastik itu, lalu ditaruhnya di meja. Kakinya kemudian melangkah mendekati Keira.

"Lo ... kenapa?" tanyanya pelan.

Keira menggeleng. "Enggak. Gak pa-pa kok."

Putra ingin sekali menonjok tembok saat ini. Melihat Keira menangis lebih menyakitkan daripada membenturkan tubuhnya ke atas pecahan kaca. Perlahan, cowok itu berjongkok di samping Keira, mengamati gadis yang kini tengah mengusap pipinya yang basah.

"Lo bisa cerita sama gue. Lo tahu itu, 'kan?" Putra tersenyum lembut, berbanding terbalik dengan keadaan hatinya. Dia marah.

Keira mengangguk. "Iya, tahu." Katanya, perlahan tersenyum. "Tapi gue beneran gak pa-pa. Biasa, cewek."

Tentu Putra tidak percaya kalau Keira sedang pms. Sama sekali tidak.

"Lo gak pintar bohong, tahu." Putra menghela napas. "Kita udah kenal dari kecil, Kei. Gue tahu lo sebaik lo tahu gue. Dan sekarang, gue tahu kalau masalah lo lebih dari sekadar pms doang."

Keira menggeleng pelan. "Gue kayaknya ... harus pergi ke Mbak Sara, deh." Gadis itu menatap Putra yang balas memandangnya dengan mata melotot.

"Mau ngapain ke Mbak Sara lagi?!" Putra tidak bisa tidak meninggikan suaranya. Cemas kembali merasukinya.

"Minta obat lagi." Keira berkata dengan santai. Gadis itu berdiri dan tersenyum pada Putra yang menganga. "Nyokap-bokap gue dateng lagi, Put. Gue stres."

....

Satu jam kemudian, Keira dan Putra sudah terduduk di depan TV besar, menonton acara yang membosankan dengan martabak di hadapan. Keira menggigit martabak dengan lahap, seakan kelaparan setengah mati. Putra di sebelahnya, memandang gadis itu dengan cemas.

"Lo harus telepon Om Bagas, Kei. Gue serius." Putra berkata.

Keira berhenti mengunyah. Dia balik menatap Putra, "Ya, nanti gue telepon," jawabnya datar. Gadis itu meletakkan martabak-nya kembali, mendadak kehilangan selera makan.

Putra menatapnya, "Gak dilanjut?"

"Udah gak laper," jawab Keira datar. "Gue mau tidur. Lo bisa pulang sekarang."

Putra menghela napas, "Gue telepon Om Bagas, ya?"

"Terserah."

"Keira ...."

"GUE BILANG TERSERAH!" Keira tiba-tiba berteriak. Suaranya meninggi dan sejenak, gadis itu tampak ... marah besar.

Putra terkejut, tentu saja.

Keira memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Lalu, gadis itu menyunggingkan senyum palsu. "Sori, Put. Gue gak maksud untuk bentak lo. Gue gak pa-pa, makasih martabaknya. Lo ... pulang sekarang, ya?" gadis itu beranjak dari duduknya. Menjauhi Putra yang terdiam.

"Tutup aja pintunya, gak pernah gue kunci juga." Keira meniti tangga ke lantai dua dengan pelan.

Putra masih tertegun di depan tv untuk beberapa saat. Lalu, netranya mengerjap. Shit. Disambarnya ponsel, lalu mencari-cari nomor yang disimpannya. Ponsel diletakkannya di telinga.

"Halo, Om?" sapa nya dengan suara berbisik. "Iya, ini soal Keira. Saya rasa, dia butuh Om."

....

Perjalanan menuju sekolah tidak pernah membuat Keira senang. Sedikitpun tidak. Apalagi dengan keadaannya yang sekarang. Kurang tidur, tubuh yang lelah, ditambah lengan yang perih. Tapi tak apa, sungguh tak apa. Keira lebih memilih untuk pergi ke sekolah dibandingkan di rumah, bersama papa yang terus menyakiti mama dan mama yang terus menyakitinya.

Keira menghela napas saat tiba di kelasnya. Rasanya tubuhnya begitu lemas dan bisa tumbang kapanpun. Tak ada niatan sedikitpun untuk berbuat jahil. Bahkan Setya yang mendelik kepadanya saja dia hiraukan.

Keira duduk di bangkunya, menghela napas sejenak dan menenggelamkan kepalanya di lengannya yang tertumpu dan sedetik kemudian gadis itu nyaris menjerit. Tindakan yang salah.

Luka di lengannya kembali tergesek, padahal sedari tadi Keira mati-matian menjaganya agar tidak tergesek. Untung saja seragamnya panjang, jadi luka itu tidak terlihat. Tidak ada yang tahu. Tidak perlu ada yang tahu.

Suara kursi yang ditarik membuat Keira mendongak. Putra duduk di depannya, tersenyum dan menyodorkan sekotak bekal makanan.

Keira mengedip tidak mengerti.

Putra berdecak, "Lo harusnya cium kaki gue sambil salam sungkem bilang makasih, gue bikin ini dari jam lima subuh!" pemuda itu mendelik.

Keira terkekeh. "Lo gak perlu repot-repot." Tapi tangannya menyambar bekal makanan itu dengan sekejap.

Putra menatap lengan Keira yang tertutup seragam. "Pasti sakit, ya," gumamnya pelan.

Keira mengerutkan dahi. "Hah?"

Putra menggeleng cepat, "Habiskan makanannya, gue ke kelas dulu." Dia beranjak dari duduknya, mengabaikan sorot mengecam dari para penghuni kelas yang mulai ramai.

"Put!" Keira memanggil.

"Apa?"

Keira ragu sejenak. "Makasih."

....

A.N

Udah lama banget nggak update, ya? Maaf, banyak banget hal yang membuat aku belum sempat update:(

Semoga kalian masih mau baca, have a good day.

Andromeda, 13 Agustus 2019

NYATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang