Prolog

11.2K 814 120
                                    


.
.
.

Aku mendengar lagu ini lagi.

Refleksi diriku terasa jelas disana—menyedihkan, sekarat. Terasa seperti dipaksa berjalan padahal dua kakiku terluka. Waktuku berlalu lamban dan menyakitkan. Hari-hari terasa kelabu. Kurva melengkung di wajahku tidak lagi sering muncul.

Tak bergairah. Aku lelah, tidak memiliki keinginan untuk melakukan apa-apa.

Seolah setengah nyawaku dipangkas habis. Namun aku masih bisa bernapas, ini aneh. Hidupku hanyalah kebohongan, kehampaan. Kutarik napas dalam, rasanya nyeri. Kuhembuskan, kubuka netraku lebar.

Sudah 3 tahun berlalu.

Tahun lalu acara kelulusan, hanya ada ayah dan ibu datang. Tidak ada Jimin hyung.

Dia menghilang seperti ditelan bumi—usai mengirim pesan malam itu.

Kukira hyung akan tetap menjaga komunikasi. Tapi tidak terjadi. Foto Jimin hyung menghilang dari semua sosial media, emailnya bahkan non-aktif.

Aku tidak mendapat kabar sedikitpun tentangnya usai kepulangan ayah dari Jepang.

Hanya ada telepon singkat yang terputus sesaat setelah kuucapkan "Halo."

Tidak ada yang memberi tahu apa yang terjadi padanya.

Jika yang meneleponku malam itu adalah hyung, kenapa dia mematikannya? Apa dia mencoba menghindariku?

Apa yang dilakukan ayah pada Jimin hyung? Apa kami tidak bisa bertemu lagi?

____

Waktu sarapan di meja makan kuhabiskan dengan diam. Sesekali mencuri pandang pada kursi kosong di hadapanku—tempat duduk Jimin hyung. Tahun inipun dia tidak kembali kerumah. Atmosfer Busan benar-benar berbeda tanpanya. Terasa asing. Nafsu makanku tiba-tiba menghilang. Aku melepaskan alat makan, mendorong piring sedikit menjauh. Ibu menatapku saat itu.

"Kookie?"

"Aku sudah kenyang."

Kamar tidur kami bersebelahan, dulu aku sangat sering menganggu Jimin hyung belajar. Ia sangat ambisius tentang masa depan. Karir adalah segalanya. Meski begitu, Jimin hyung masih suka mendengar ocehanku. Dia selalu meluangkan waktu untukku, dia membiarkan aku berbaring di kasurnya sehabis bermain bola di pantai. Dia mengajariku membuat PR, dia selalu menemaniku kemanapun.

Bahkan ketika kami sama-sama dewasa, Jimin hyung masih sering mengatakan "jangan lupa makan" atau "semua akan baik-baik saja."

"Kookie?"

Aku tidak menoleh. Hanya duduk diam di atas ranjang milik Jimin hyung. Kakiku membawaku pergi kesini begitu saja. Aroma Jimin hyung sudah menghilang lama sekali, karena aku selalu menghabiskan waktu disini setiap libur kuliah, hingga satu tahun lamanya aku menganggur—aku menunggu Jimin hyung pulang. Tapi dia tidak pernah datang.

"Bu, apa dia sering pulang kerumah?"

Ibu duduk dihadapanku, mengangguk sekali.
"Kadang-kadang."

"Apa dia sehat? Apa dia menanyakanku?"

Bisa kulihat sarat keberatan di air muka ibuku. Aku tahu dia masih trauma. "Dia tidak menanyakanmu."

Bohong.

"Kenapa aku tidak boleh bertemu dengannya sekali saja?"

"Ini demi kalian."

Aku terdiam, menoleh pada suara berat ayah di pintu. Orang ini pernah membuatku babak belur karena mengakui perasaanku pada Jimin hyung. Aku tidak membenci ayahku. Aku sangat mengerti mengapa ia melakukan itu, aku bersedia jika ayah membunuhku. Tapi ia malah membiarkan aku hidup dan memisahkan kami.

After DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang