Jungkook mendadak ragu ketika netranya menangkap sosok Jisoo dari kejauhan. Perempuan cantik itu tengah duduk tegak di salah satu meja cafe, dimana beberapa jam lalu mereka menjanjikan untuk bertemu secara diam-diam.
Ia memastikan tidak ada yang mengikuti—sekali lagi. Kepalanya terus terusan menoleh kebelakang. Hingga pemuda itu sampai di dalam cafe pun, ia tetap berupaya memeriksa keadaan di luar kaca transparan.
"Jungkook, lama tidak ketemu." Basa basi Jisoo terdengar memuakkan baginya. Jungkook langsung duduk tanpa memesan. Bahkan ia enggan membalas tatapan perempuan itu. Jisoo hanya tertunduk sedih. "Maaf, tiba-tiba sekali—"
"Aku tidak punya banyak waktu, apa yang ingin kau katakan?"
Jisoo tertegun. Bagaimanapun, meski sudah tahu bakal disikapi begini, ia tetap harus bertanggung jawab.
"Baiklah.. Kau ingat apa yang terjadi pada Jimin oppa 3 tahun lalu. Aku minta maaf karena telah mengerjainya. Aku menyuruh teman-temanku melakukan itu. Tapi sumpah, mereka menyentuh Jimin oppa atas keinginan mereka sendiri. Aku hanya minta mereka memberinya pelajaran..."
Jisoo memberanikan diri mengangkat wajah. Seketika ia menyesal. Karena sekarang Jungkook tengah memusatkan atensi padanya. Wajah pemuda itu terlihat marah. Rahangnya mengeras, dua bola mata madu sarat akan kebencian. Seakan siap untung menelan dirinya hidup-hidup. Ingatan masa lalu membuat emosi sukses terpancing. Jisoo menelan ludah.
"Aku tidak menyangka mereka sejauh itu."
"Jimin hyung tidak pernah memberitahu secara detail apa yang terjadi, karena dia juga tidak tahu."
"Dia tidak tahu?"
"Ya. Lalu apa yang dikatakan temanmu? Apa cuma itu alasanmu memanggilku? Kau buang-buang waktuku."
Jungkook siap beranjak. Ia menarik tas dan berdiri dari kursi, berpaling namun tidak sampai melangkah karena Jisoo keburu bicara.
"Salah satu temanku meninggal karena sirosis. Ia menderita penyakit itu tanpa diketahuinya. Dan dia yang..." Pointer mata madu beralih pada Jisoo yang hampir tercekat ucapannya sendiri. "Dia menyentuh Jimin oppa."
___
"Selamat jalan, bu."
Jimin melepaskan pelukan. Membungkuk pada supir ketika Hye Sun sudah berada dalam taksi. Wanita itu harus kembali ke Busan hari ini, menepati janji untuk menemani sulung Park sudah dilakukan. Ia bersama Jimin, belanja keperluan sehari-hari, membeli baju baru serta buku resep untuk memasak.
"Bye!" Jimin sekali lagi melambai ketika taksi tersebut menjauh. Ia berada di depan Supermarket. Jimin melirik jam tangan. Masih pukul 4 sore dimana artinya ia masih memiliki satu jam sebelum kepulangan Jungkook.
"Haruskah kami pulang bersama?" berbicara pada dirinya sendiri, Jimin membuka ponsel. Mencoba mendial adiknya, berharap mereka bisa menghabiskan sisa hari bersama.
Tapi sayang, tidak ada jawaban.
Pemuda itu menghela napas. "Mungkin Kookie belum pulang." kemudian ia mulai berjalan sendirian. Jimin menenteng belanjaan ke halte bus. Duduk di sana sambil mengurut kaki.
"Aku benar-benar seperti orang tua, menyedihkan." gumamnya cemberut. Sesaat netranya terpaku pada telapak tangannya sendiri. Jimin menelan ludah. Warna telapak tangannya sedikit berubah dibanding warna kulit kaki dan bagian tangan lainnya. Jimin hanya mengenakan celana pendek dan kaos longgar. Perbedaan warnanya samar, namun jika diperhatikan memang sedikit aneh.
Pemuda bersurai blonde itu menghela napas, mengalihkan atensi pada lalu lalang kendaraan. Namun pointer matanya malah terfokus pada sebuah bangunan transparan—sebuah cafe.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Dawn
Random(Sequel Bittersweet) "tidak ada yang namanya keajaiban untuk pendosa seperti kita." . . . [[Jikook/Kookmin; Taegi]] [[Incest!AU]] [[Cover by: Pausgede]] #3rd for Angst (11.18.19)