Kubelai puncak kepala putraku dengan sayang. Ekspresinya yang sangat ingin tahu membuat bibirku tak henti-hentinya menyunggingkan senyum. “ Ma, ceritain tentang cowok yang satunya dong,” rengek putraku.
“ Nanti nggak seru dong kalau nggak urut ceritanya. Masa langsung loncat ke cowok satunya. Masih lama sayang,” tolakku secara halus. Aku tidak ingin dia menebak siapakah ayahnya dengan cepat. Permainan ini harus berlangsung lama karena suamiku akan pulang terlambat dan aku tidak ingin membuat anakku bosan menunggu.
“ Nggak apa-apa. Ceritain aja gimana pertama kali mama ketemu sama cowok satunya,” paksanya sambil memberikan ekspresi memelas andalannya.
“ Mama maunya urut supaya seru.”
“ Ceritain dikiiit.. aja. Abis itu lanjutin urut dari awal lagi. Ya? Ya?” paksanya. Kini ekspresi memelasnya semakin menjadi dan membuat pendirianku mulai goyah.
Ekspresi itu.. bagaimana bisa aku menolaknya. “ Oke deh. Kalau kamu maksa.”
###***###***###
Setelah lulus SMA, aku bingung harus kemana dan bagaimana. Dunia perkuliahan bukanlah hal yang main-main. Mama ingin aku menjadi dokter agar kelak bisa merawatnya di hari tuanya. Namun, aku menolak karena aku tidak tega melihat orang menderita. Melihat darah bercucuran saja sudah membuatku mual. Tubuhku lemah dan gampang sakit-sakitan. Bagaimana aku bisa menjadi dokter yang baik jika aku tidak bisa merawat diriku sendiri? Dengan sejuta alasan dan argumentasi akhirnya Mama menerima keputusanku untuk tidak menjadi dokter.
Papa selalu bersikap netral. Apa pun keputusanku, asalkan dengan alasan dan komitmen yang jelas, Papa pasti setuju. Dengan restu dari Papa dan Mama, aku pun mencari sekolah yang sesuai untukku dan jenjang karirku kedepannya.
Setelah dipertimbangkan cukup matang, akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan kuliah di Akademi Sekretaris dan Manajemen di Jakarta Selatan. Ternyata keputusanku tepat. Aku mendapat banyak teman dan relasi yang menunjang karirku. Tak terasa aku lulus dengan nilai terbaik dan langsung diterima kerja di perusahaan asing dengan gaji yang lumayan.
3 tahun berselang karirku menanjak cepat karena prestasiku yang memuaskan. Namun, karir sebagai sekretaris bukanlah hal yang selalu kudambakan dalam hidupku. Darah seni dari Mama yang mantan penari kontemporer masih mengalir dalam diriku. Aku senang menari terutama tari salsa. Menari bisa membuat pikiranku kembali jernih dan kembali bersemangat. Karena itu, setiap pulang kantor jika tidak lembur atau akhir pekan aku akan berlatih salsa di sebuah klub salsa milik kenalanku yang menikah dengan orang Spanyol.
Dari sekedar hobby, tari salsa menjadi bagian dari hidupku. Iseng-iseng kuikuti beberapa perlombaan tari salsa di akhir pekan jika jadwalku tidak padat. Tak terasa sudah banyak orang mengenalku sebagai Sari si penari Salsa yang sexy, bukan Sari si sekretaris direksi yang culun dan galak dengan kaca mata besarnya.
Kedengarannya seperti cerita gadis berkepribadian ganda. Tapi begitulah hidupku berlangsung. Ketika bekerja, aku sengaja mengenakan setelan kantor yang longgar dan make up standar. Ditambah kacamata besar peninggalan nenekku, lengkaplah sudah aku menjadi Betty la fea, si sekretaris buruk rupa. Tapi, ketika menari salsa, aku menjadi diriku apa adanya. Pakaian senam yang ketat dan sexy, rambut panjang sepunggung yang kubiarkan tergerai, dan high heels untuk latihan menari. Walaupun melelahkan, aku sudah biasa dengan rutinitasku yang padat.
YOU ARE READING
My Beautiful Romance
Teen FictionHanya ada dua pria yang berotasi mengelilingi hidupku dan memenuhinya dengan penuh cinta. Anca, si jenius kutu buku dengan senyumnya yang menenangkan, cinta pertamaku sejak SMA dan Ando, jurnalis tampan dengan pesonanya yang luar biasa. Mereka datan...