Bagian 1

22.8K 2K 136
                                    

Nih, aku baik banget pagi-pagi di hari ahad kasih kalian cerita baru. Bukan spoiler lagi. Semoga nulisnya lancar ya, biar paling nggak seminggu sekali bisa update karena cerita ini nggak ada draftnya 😉

Sudah siap sama cerita barunya? Mudah-mudahan, cerita ini juga bisa diterima sama masyarakat negeri oranye ini ya 💃

Jangan lupa, pencet bintangnya biar bertaburan dan aku makin semangat buat nulis lanjutannya. Dishare juga ke teman-teman kalian, siapa tahu kan, mereka suka sama cerita ini 😬

***

Mantan kok terindah? Kalau terindah ya nggak bakalan jadi mantan!

- Larasati yang dikhianati.

Aku berdiri dengan gugup. Beberapa kali kuhempuskan napas lewat mulut untuk mengurangi ketegangan dalam diriku. Tapi hasilnya nihil. Jantungku masih berdetak begitu cepat sampai rasanya aku takut ada orang lain yang bisa mendengarnya selain aku.

Aku mengelus dadaku lagi, kuhembuskan napasku lagi dan berbalik ke belakang. Bercermin lagi untuk memastikan tidak ada keringat sebesar biji jagung di wajahku yang sudah dipoles make up sejak tadi. Oke. Riasanku masih begitu bagus dan lipstik di bibirku juga masih mempesona. Lalu aku buru-buru memperbaiki rok lipit dari kain jarik yang dililitkan dari pinggangku hingga mata kaki. Sebagai pasangan yang cocok untuk kebaya yang kupakai hari ini. Tidak lupa jilbab penutup kepala yang sudah ditata sedemikian rupa oleh para perias.

Setelah memastikan semuanya masih paripurna, aku keluar dari kamar. Suara bising antara alunan musik yang terdengar samar dan orang-orang yang bercengkrama menyambutku keluar. Aku melempar senyum, menganggukkan kepala saat mereka menyapaku ramah. Lalu langkah kakiku menuju kumpulan dimana saudari-saudariku berada. Mereka menyapaku, memintaku untuk duduk tenang karena prosesi ijab qobul akan segera dilakukan.

Aku bisa melihat Papa duduk di sana, berhadapan dengan lelaki yang masih bisa mendetakkan jantungku dengan cepat. Sama tegangnya seperti aku, walau aku tahu, tegangnya pasti berbeda dengan yang kurasakan.

Penghulu memulainya dengan doa-doa dan meminta Papa menjabat tangan lelaki itu dengan mantap. Tidak ada senyuman di wajah keduanya, hanya kegugupan yang bisa kulihat dari tempatku duduk.

Papa mengucapkan ijabnya dengan mantap, disusul qobul yang lelaki itu katakan dengan satu hentakan napas, seolah menegaskan kalau ia benar-benar menunggu saat-saat ini segera berlangsung. Hari bahagia yang tidak akan pernah ia lewatkan dalam hidupnya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Desi Galih binti Sujarwo dengan maskawin yang tersebut tunai!"

Lalu ucapan kata 'sah' mengalun di udara. Membuatku memejamkan mata dan satu tetes air mata lolos dari kelopak mata yang langsung kuhapus sebelum ada orang yang melihatnya.

Seperti yang sudah diintruksikan sebelumnya, aku berdiri, mengapitkan lengan kiriku kepada sepupuku dan berjalan menuju tempat dimana lelaki itu sudah menunggu. Tersenyum manis seraya mengaitkan kedua tangannya di depan tubuh. Menanti rombongan pengantin perempuan datang ke hadapannya.

Aku bisa melihat matanya menatapku, kemudian menatap sepupu yang ada di samping kiriku, sebelum aku mengulurkan tangan Desi, sepupuku untuk ia sambut dan mencium tangan suaminya sebagai bakti pertamanya sebagai istri. Aku menundukkan wajah saat melihat tatapan Papa terarah padaku. Lalu mundur perlahan. Sadar kalau kali ini aku sudah kalah.

Panggung ini bukan panggung kemenanganku meraih hatinya. Melainkan kekalahanku, karena harus merelakan ia duduk bersanding dengan perempuan lain. Sepupuku sendiri. Bukan aku. Perempuan yang lebih dari tiga tahun menjadi kekasihnya.

Kisah Dari Masa Lalu (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang