Bagian 2

15.2K 1.7K 54
                                    

Kuikat kuat tali sepatuku agar tidak lepas saat aku berlarian nanti. Maklum saja, nomornya satu tingkat di atas ukuranku, karena ini sepatu hadiah. Dari siapa? Siapa lagi kalau bukan Azka, yang sayangnya sepatu ini memang aku incar waktu itu dan rekeningku melambai minta diisi saldo. Jadi, dengan mengesampingkan harga diri, aku menerima sepatu itu dan membuat hidungnya kembang kempis saat tahu aku hampir selalu menggunakannya.

Pagi ini juga. Aku yang sebenarnya masih capek sekali, memilih meninggalkan hangatnya cumbuan bantal dan selimut saat kepalaku menerka-nerka apa yang disebut oleh-oleh dari Azka. Sudah kubilang kan, kalau Azka itu otaknya agak kurang berfungsi dengan baik.

Setelah memastikan jilbab yang kupakai tidak menampilkan rambutku dan handuk kecil tersampir di batang leher, aku memulai lari pagi. Beruntungnya, komplek rumah kami bersih karena para penghuninya rajin merawat lingkungan dan juga petugas kebersihan yang akan selalu datang setiap pagi untuk mengangkut sampah-sampah di beberapa bak sampah yang memang disediakan untuk sampah rumah tangga di sini. Paling-paling hanya daun dan bunga yang berguguran di tepi jalan, membuatnya justru terlihat segar karena bukan sampah anorganik.

"Rajin amat, Neng Laras? Mau lari kemane?"

"Ke taman komplek, Nyak. Nyak Ipeh mau masak ape? Pagi-pagi udeh metik cabe aje," tanyaku sembari menghampiri tetanggaku yang orang Betawi dan senang bergosip ini. Tapi aku menyukainya, karena Nyak Ipeh ini sangat baik dan hobi memasak. Jangan salah, Betawi begini Nyak Ipeh suka berkreasi di dapurnya. Masak masakan Western, Korean, Chinesedan masih banyak lagi dan dia suka membagikan hasil eksperimennya itu kepada kami, para tetangga yang memang lambungnya tidak cengeng diberi makanan apapun.

"Mau masak nasi liwet. Neng Laras mau nggak?"

Aku menepuk tangan sekali, lalu menyodorkan jempol kananku padanya, membuat kami berdua tertawa.

"Yang banyak petenya, Nyak! Wuih! Sedep itu pasti!"

"Bisa aje si Eneng, gampang itu. Nanti Nyak sisain buat Neng Laras yang banyak petenya," bisiknya sambil mengedipkan sebelah mata. Aku terkikik dan memeluk tubuh gempalnya.

"Ya udeh, Nyak. Aku mau keliling dulu, ntar keburu siang lagi."

"Sip! Sana pergi. Eh, tapi Neng, Kangmasnya udeh balik dari Semarang tuh. Dibeliin ape ame die?"

Wah, dasar gosip memang makin digosok makin sip. Sudah pada tahu nih, kalau mantan setan itu sudah pulang.

"Kagak tahu, Nyak. Paling nanti diantar ke rumah," kataku tidak mau keceplosan kalau Azka mengiming-imingku oleh-oleh pagi ini.

"Ah, dia memang tuh. Harusnya langsung lamar ajekalau memang demen sama kamu, Neng. Nanti keduluan sama si Tukang Bakso baru nyesel die."

Aku mengabaikan ucapan Nyak Ipeh, melambaikan tangan padanya sembari melanjutkan lari. Pagi-pagi begini udara masih segar. Segar yang lumrah untuk kota seperti Jakarta ini. Ya, namanya saja polusi dimana-mana. Untung Papa pintar memilih komplek perumahan yang cukup bersih dan asri ini.

Taman komplek yang akan kukunjungi pun bersih sekali. Ada kolam ikan dan tempat bermain anaknya, walau jarang ada anak yang main ke sini karena rata-rata di sini jarang ada yang punya anak kecil. Semua anak kecil sudah bertransformasi menjadi dewasa, sepertiku.

Tidak banyak orang yang olahraga pagi sepertiku. Hanya ada dua orang anak kecil di dalam stroller yang sedang disuapi oleh ibunya. Beberapa lansia yang sedang senam pagi bersama instruktur yang seksi. Juga ada muda-mudi yang duduk di bangku taman, memakai pakaian olahraga tapi duduk-duduk dan hanya hahahihi saja.

Kisah Dari Masa Lalu (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang