Di pagi hari berikutnya, saat aku keluar rumah untuk menanti tukang bubur yang biasa mangkal di taman, Azka datang sambil berlari-lari kecil. Tidak lupa ada handuk kecil yang tergantung di lehernya. Ia semakin mempercepat larinya dan tersenyum melihatku.
"Hai, Bidadariku," sapanya ceria seperti biasa. Aku mendengkus, duduk di depan gerbang lalu menutup kuapan dengan tangan kiri.
"Ngapain pagi-pagi ke sini?" tanyaku malas.
"Nyamperin kamu, dong! Ayo, ikut jogging. Kemarin kan kamu nggak jadi jogging."
"Sok tahu! Aku kemarin sudah jogging duluan sebelum kamu datang."
Azka terkekeh, melakukan gerakan pemanasan di depanku tanpa mengalihkan pandangannya dariku.
"Apaan, sih? Lihatnya ke jalan, kek!"
"Kalau ke jalan, nanti bidadarinya kembali ke kahyangan. Sayang, dong!"
Aku mendengkus malas, membiarkan dia kembali merenggangkan tubuhnya dan aku menarik kedua kakiku dan kudekap di depan dada. Rasanya masih mengantuk, tapi aku harus bangun untuk membuat sarapan untuk Papa sebelum beliau berangkat bekerja.
"Laras."
"Hmm?"
"Kalau nanti ada cowok yang ngelamar kamu lewat Papa kamu, kamu gimana? Mau?" tanya Azka tiba-tiba. Kantukku langsung hilang seketika, memandangnya dengan mata memicing penuh tuduh.
"Jangan bilang kalau kamu mau ngelamar aku ke Papa!"
Bukannya tersinggung, Azka justru tergelak sampai kepalanya terdorong ke belakang. Bukan apa-apa, tapi karena aku tahu dia adalah orang yang nekat. Lebih nekat dari siapapun yang aku kenal selama ini. Buktinya saja, sudah aku tolak berkali pun, dia masih saja punya harga diri dan kembali mencoba.
"Enggak, lah! Aku kalau mau lamar kamu ya tanya kamu dulu. Nanti ternyata kalau kamu terpaksa kawin sama aku kan kasihan."
"Kawin! Kawin! Kerja saja belum jelas, kok sudah berani ngajak kawin anak orang."
Lagi-lagi, Azka tergelak. Ia melambai pada tukang bubur yang datang dari arah gerbang komplek agar mendekat.
"Yang penting kan berani dulu, Ras. Urusan rejeki, itu sudah ada yang ngatur. Kamu tenang saja, nanti kalau nikah sama aku nggak bakal aku biarin kamu hidup susah. Masak, pas hidup sama Papa kamu, semuanya terjamin, tapi pas hidup sama aku malah jadi sengsara?"
Aku mencibir, tapi tidak membalas ucapannya. Fokusku kepada tukang bubur yang sudah memarkirkan gerobaknya di depan kami.
"Mbak Laras yang kayak biasa?" tanyanya ramah.
Aku mengangguk. "Iya, Mang. Jangan pakai kacang, ya? Aku lagi jerawatan."
"Sip, deh! Mas Azka mau juga?"
"Boleh, Mang."
Lalu Azka duduk di sampingku, ia memandangku dari samping dengan kening berkerut karena cahaya matahari pagi yang bersinar begitu terik menimpa wajahnya. Padahal hari masih pagi, Papa juga baru pergi kerja belum lama tadi.
"Memangnya, kamu nggak mau sama-sama hidup dari nol sama suami kamu nanti?" tanya Azka lagi, masih tentang pembahasan tadi rupanya.
Aku mendesah, memandangnya yang kini mengelap keringat di bawah hidungnya yang ditumbuhi bakal kumis yang masih tipis.
"Perempuan mana sih, yang berumah tangga tapi mau sengsara? Nggak ada, Ka. Tapi ini pemikiranku, ya. Apalagi, kamu tahu gimana protektifnya Papa dan Mbak Chika ke aku."
"Tapi Chika dapatnya Ibram. Dia cuma nerusin usaha orang tuanya, kan?"
Aku terkekeh, menerima semangkuk bubur dari Mang Yusep dan mengucapkan terima kasih sebelum mengaduk sambalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Dari Masa Lalu (COMPLETED)
General FictionCOMPLETED! *** Kamu pernah pacaran, tapi diputusin sama pacar kamu tiba-tiba tanpa alasan? Kamu pernah, lagi sayang-sayangnya sama pacar, tapi ternyata pacarmu punya selingkuhan? Dan ternyata selingkuhan pacarmu itu saudaramu sendiri? Lalu gimana si...