4. Balapan

830 44 19
                                    

Bandung, 2018

Karel melangkah santai di koridor kampusnya. Masa-masa OSPEK sudah berakhir, sekarang dia sudah resmi menjadi mahasiswa.

"Rel!" Seruan seseorang membuatnya menoleh. Di tengah lapangan, ada Yanto dan Rifal yang tengah bermain basket, kakinya langsung tertuju menghampiri kedua temannya itu.

Rifal melemparkan bola basket ke arahnya. Namun nahas, bola itu justru melenceng ke sisi kirinya. Hampir mengenai kepala seorang perempuan, beruntung Karel dengan sigap menangkapnya.

"Woi! Yang bener dong!" Teriak Karel sebal.

Rifal berdecak pelan, dia berlari mendekat, "Kak, gak pa-pa?" Tanya Rifal hati-hati, pasalnya gadis yang hampir dia lukai adalah Caitlin. Kakak tingkatnya yang terkenal dingin. "Sori Kak, gue gak sengaja" lanjutnya pelan.

Caitlin menatapnya tak suka, lengannya masih mengusap-usap jantungnya. Mengendalikan degup jantungnya yang berdebar karena kaget.

"Bisa main gak?" Desis Caitlin dingin.

Rifal melirik Karel meminta bantuan, "sori Kak, gue beneran gak sengaja" katanya menyesal.

"Kalo sa—"

"Udahlah, temen gue udah minta maaf. Gak usah di perpanjang, lo juga gak kenapa-kenapa" potong Karel santai. Dia mulai menggiring bola basket menuju lapangan, meninggalkan Caitlin yang kini mengepalkan tangannya kuat-kuat sembari menatap punggungnya tajam.

"Temen lo," kata Caitlin pada Rifal, "bilangin sama dia, jaga sopan santun sama senior!" Desisnya tajam lantas berlalu pergi dengan langkah dihentakkan kesal.

Rifal mengembuskan napas lega lantas menghampiri teman-temannya. "Gila ya, si Caitlin mukanya kayak bidadari, matanya mashaallah, kayak piso, tajem bener" ucapnya seraya menunggu operan bola dari Karel.

"Apaan, biasa aja" kata Karel acuh tak acuh, "lo belum liat aja cewek gue" kata Karel sambil mengulum senyum, "bidadari aja pada minder kayaknya" lanjutnya sembari terkekeh pelan. Pikirannya langsung penuh oleh sosok Steffi, gadis berjilbab yang selalu membuatnya merasa betah berlama-lama.

"Bucin bangsat!" Kata Yanto memasang wajah jijik. Bucin alias budak cinta.

"Bawa ke sini dong, kenalin sama kita-kita" kata Rifal seraya memainkan bola basket pemberian Karel.

"Ogah, entar lu demen" sahut Karel santai.

Yanto mendecih, "takut kalah ganteng?"

"Eh bangsat! Bacot amat lu!" Sebal Karel, dia meraih botol minuman di atas kursi sisi lapangan lantas melemparkannya pada Yanto, tapi lelaki itu dengan sigap menangkapnya, dan justru keuntungan baginya di beri minuman saat haus.

Karel mengembuskan napas kesal, matanya melirik jam tangannya, pukul 9.50 pagi. Dia ada kelas sekitar setengah jam lagi, selagi menunggu, mungkin akan dia gunakan untuk menghubungi Steffi.

"Gue ke kantin ya" pamitnya. Langkahnya mulai terayun meninggalkan lapangan menuju kantin, hendak mengisi perutnya yang memang masih kosong sembari menunggu Steffi istirahat.

"Bu siomaynya satu" ucap Karel. Bukan hanya Karel, tapi gadis di sebelahnya juga memesan makanan yang sama. Mereka mengucapkannya berbarengan.

"Lo lagi," gadis itu mendengus sebal, "Bu es teh nya satu ya" katanya lantas berlalu pergi.

Karel hanya mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Caitlin, rasanya, dia sering sekali bertemu dengan gadis dingin itu.

"Es teh nya satu Bu," kata Karel lantas berlalu menuju bangku di sudut kantin. Bangku yang selalu dia duduki setiap kali datang ke kantin.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Semesta dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang