Lucunya, aku menginginkan sesuatu yang bukan hakku dan kehilangan sesuatu yang bukan milikku.
---
Aula SMA Bintang siang itu dipenuhi oleh perwakilan setiap kelas dari kelas X sampai kelas XII. Ketua penyelenggara pensi sedang berdiri di panggung aula. Memberi sambutan, menjelaskan bagaimana jalannya acara mulai dari tanggal, tata tertib, jadwal penampilan sementara, dan terakhir pengajuan calon penyanyi solo putra dan putri dari setiap kelas.
"Bangunin gue kalau acaranya kelar," pinta Alda. Ia mulai melipat tangan di atas meja yang akan dijadikannya bantal untuk tidur.
"Nggak bisa! Perhatiin TM-nya dan jangan tidur!" larang Gilang pada Alda.
"Bodo, Lang," ucap Alda tidak peduli. Ia sudah menidurkan kepala diatas tangannya.
Jangan sebut Gilang Abraham sebagai ketua kelas jika ia tidak bisa memerintah wakilnya sendiri. "Da, gue denger-denger ada anak jurnalis yang suka sama lo. Wah, satu ekskul kan kalian. Gue bisa bantu dia supaya bisa deket sama lo. Dia temen SMP gue."
Punggung Alda menegak secara otomatis. Mata bulatnya ia paksa terbuka walau rasanya berat. Sudah cukup! Ia muak memiliki hubungan khusus dengan seorang lelaki. Akhirnya akan sama saja yaitu gagal move on dan itu merepotkan.
"Diancam dulu baru bangun. Gue ngajak buat meeting bukan buat Nina Bobo-in lo."
"Diem!" ketus Alda.
"Nikmatin aja, itu yang namanya Bang Hans. Ganteng kan?" tanya Davin sambil menunjuk ketupel yang sedari tadi berbicara di depan panggung.
"Jelek!"
"Alfa doang yang ganteng?"
"Jelek semua! Kecuali bokap,"
Gilang hanya terkekeh melihat wakilnya. Setahun bertugas bersama membuatnya yakin bahwa memilih gadis judes itu sebagai wakil ketua kelas adalah pilihan terbaik.
"Perwakilan dari kelas X Bahasa dipersilahkan maju untuk mengisi absen dan menulis perwakilan penyanyi solo putra dan putri." Suara berat dari seorang kakak kelas laki-laki koordinator penyanyi solo menginterupsi keduanya.
"Lo maju, gih!" perintah Alda pada Gilang.
Yang diperintah hanya menyeringai, "Siapa, sih? Si itu, oh iya Albar ya namanya."
Tanpa ba bi bu lagi Alda berdiri tegak, berjalan menuju panggung aula untuk menunaikan tugasnya. Tempat duduknya yang berada paling belakang membuat panggung aula sejauh pulang ke rumah dengan jalan kaki.
"Manis, tuh,"
"Kok gak pernah liat, ya?"
"Judes bener itu muka,"
Celotehan dari kakak kelasnya membuat gadis itu semakin muak. Ekspetasinya, ia bisa tidur sepanjang meeting dan menyerahkan semuanya pada Gilang. Realitanya, ia diperbudak.
"Silahkan, Dek,"
Alda meraih bulpoin yang diulurkan oleh koordinator tersebut. Menulis nama Alfaridzi Mahatma dan Razika Ayami secara berurut.
"Seleksi penyanyi solonya besok sepulang sekolah ya, Dek. Untuk pemilihan lagu dan nomor urut akan diberitahukan besok saat seleksi."
"Iya, Kak," Jawab Alda sekenanya.
"Baik, silahkan duduk kembali."
Alda menyempatkan diri untuk mengangguk dan tersenyum simpul sebelum berbalik. Langkahnya ia percepat. Telinganya ia tulikan dari bisikan godaan laki-laki disekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Best Restorer
Teen FictionKetika seseorang mampu meruntuhkan benteng pertahananmu, membangun kembali puing hati yang patah bersama, dan mewujudkan segala ekspetasi bahagiamu tanpa perlu kau beritahu. Ia penyembuh luka terbaik. Kisah yang akan berakhir bahagia jika penyembuhm...