4

39 1 0
                                    

Bosan.

Sangat. Bosan.

Mulut Aluna terbuka lebar, namun ia menutupi dengan tangannya.

Penjelasan Pak Rama seperti suara Zelo yang terus saja mengoceh—tidak pernah Aluna ingat dan masukkan ke otak.

"Hm... gue harus keluar dari tempat ini," ujarnya pelan. Ia pun langsung berdiri tegak.

"Ya, kamu, sudah dapat hasilnya? Berapa nilai Y?"

Lagi-lagi, semua mata tertuju padanya. Menunggu jawaban.

"Gak... ada," jawabnya ragu-ragu. Pak Rama langsung mengerutkan keningnya.

"X sama Y gak berjodoh. Jadi jangan dipaksain sampe ketemu," jawabnya lagi. Ngawur. Cewek itu langsung meringis pelan begitu sadar sudah melontarkan jawaban nyeleneh.

Seisi kelas langsung tertawa mendengar jawaban Aluna. Ia malu—juga heran. Selera humor mereka rendahan banget!

Pak Rama memejamkan mata sambil memijit pelipisnya.

Tanpa pikir panjang, Aluna pun langsung bergegas keluar diikuti tawaan teman sekelasnya yang perlahan memudar digantikan tatapan aneh begitu Aluna ngacir keluar tanpa permisi.

...

Untung ia tak lupa membawa jaket dan Yoyo. Jaket berfungsi untuk menghalangi bertemunya tangan kotor yang hendak menyentuh kulitnya. Jika ditanya, pasti itu jawaban Aluna. Ke mana-mana, Aluna pasti akan membawa jaket.

Ia pun terus berjalan menysuri koridor sekolahnya. Benar-benar tidak menarik. Bosannya belum juga hilang.

Kembali ke kelas? Itu jelas bukan pilihan yang tepat.

Cewek itu pun terus melangkahkan kakinya tanpa arah—sambil bersenandung pelan yang jika orang-orang mendengar suara emasnya langsung tutup telinga.

"Mangga?!" Langkahnya langsung terhenti. Ingin teriak tapi nafasnya tercekat. Yoyo pun sampai sesak karena Aluna memegang terlalu erat.

"Sejak kapan di sekolah ini ada pohon mangga?! Dan—dan gak ada yang mau metik?" Aluna ngoceh sendirian—sambil masih memikirkan pertanyaannya barusan.

Sebenarnya itu tidak perlu. Hanya saja, ini Aluna. Dan, dia... lebay.

Dengan berbekal Yoyo di tangannya. Cewek itu mencoba meloncat setinggi mungkin. Namun apa daya. Tubuhnya tidak mengizinkannya untuk mencapai mangga yang paling rendah—namun sangat tinggi bagi Aluna yang...pendek.

Sudah lebih dari lima kali loncatan. Sampai-sampai ia ngos-ngosan.

"Pokoknya, gue harus dapetin mangga yang itu!"

"Tapi... gimana caranya?!" Aluna mendesis kesal karena tidak bisa mendapatkan keinginannya itu.

Sekarang, ia berpikir dua kali lipat dari biasanya—memikirkan cara praktis agar bisa mendapatkan mangga tanpa harus bersusah-susah.

Menunggu Zelo?

Tidak! Itu bukan pilihan yang tepat. Belum tentu ia mau memanjat pohon di sekolah. Lagi pula, ia tidak mau menunggu cowok itu keluar dari kelasnya. Pasti akan sangat lama.

Pada akhirnya, Aluna hanya bisa menghela nafas pasrah. Pasrah pada pilihan terakhir yang sebenarnya tidak ingin ia pilih. Namun, apa boleh buat, kan?

"Demi mangga!" Teriaknya tertahan. Takut kalau-kalau ada yang mendengarnya dan malah ikut berebut mangga dengannya. Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Mulai hari ini, ia mengklaim bahwa pohon mangga itu miliknya.

🍭🍭🍭

-Aluna-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang