"JEENOOO!!!"
"JANGAN SAMPAI SAYA BISA TANGKEP KAMU, YA! HABIS KAMU SAMA SAYA!"
Tubuh Jeno berlari dengan gesit. Menghindari bertabrakan dengan beberapa murid yang juga lewat di koridor sekolah. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat Pak Ramli yang memasang tampang marahnya seraya berlari mengejar Amar.
"Itu muka jelek amat, sih," ujarnya pelan. Ia terus menampilkan cengiran lebarnya di sepanjang koridor.
Bruk!
"Eh—eh, sori."
Jeno sering hilang fokus. Bukannya memfokuskan kabur dari kejaran Pak Ramli, ia malah sibuk ngoceh sendirian sekarang. Sampai-sampai ia tidak melihat seorang siswi yang membawa kertas tengah berjalan. Di belakangnya, ada Bu Rana. Oh, mungkin Bu Rana minta bantuin tuh cewek. Jeno buru-buru membantu membereskan kertas yang berhamburan. Sedangkan Bu Rana hanya menatapnya dengan bingung.
"Eh, ada Bu Rana." Jeno nyengir lebar seraya menyalami tangan Bu Rana.
"Assalamualaikum, bu." Sudahnya, Jeno langsung kembali berlari, tak lupa menampilkan senyum terbaiknya pada Bu Rana.
"Waalaikumsalam." Bu Rana masih bingung. Tiba-tiba ia melihat Pak Ramli yang kelihatan sudah lelah karena terus berlari.
"BU RANA! Itu anak kenapa gak ditahan! Masyaallah, saya capek, loh, bu lari-lari ngejar dia dari tadi!"
Wajah Bu Rana sudah berubah menjadi kesal. "Loh, kenapa jadi bapak yang nyalahin saya?! Seharusnya bapak bisa tanggung jawab sendiri, dong dengan pekerjaan bapak!"
Pak Ramli menepuk keningnya. Ia lupa sedang berhadapan dengan siapa. Bu Rana, kalau sudah berdebat pasti tidak mau kalah. Ia memegang kuat prinsip 'perempuan selalu benar!'
"Eh—eh bukan gitu, loh, maksud saya, bu—"
"Gak usah banyak alesan! Jelas-jelas situ nyalahin saya!" Wajah Bu Rana langsung berubah garang.
Siswi yang tadinya membantu Bu Rana membawakan kertas ulangan murid-murid pun terlihat pasrah saja. Lebih baik ia langsung berlalu ke kelasnya, dari pada menunggu perdebatan Bu Rana dan Pak Ramli yang entah kapan selesainya.
Aduh! Salah ngomong saya.
Sementara Bu Rana masih mengoceh, Pak Ramli langsung kabur dari sana. Lebih baik ia melanjutkan pekerjaan sebelumnya—mengejar Jeno—dari pada harus berdebat dengan Bu Rana yang entah kapan selesai kalau dilanjutkan.
"JENOOOO!!!"
Teriakkan Pak Ramli bergema di sepanjang koridor. Jeno yang berada di ujung lorong dapat mendengarnya. Cowok itu pun menoleh ke belakang seraya nyengir lebar.
Jika ditanya, permainan apa yang paling ia sukai dibanding Free Fire dan Mobile Legend? Jawabannya jelas , kejar-kejaran dengan Pak Ramli.
Pokoknya, tiada hari tanpa keributan antara Jeno dan Pak Ramli.
"Ayo, pak! Kejar saya, dong. Masa kalah, sih." Jeno terus berlari sambil menoleh ke belakang. Seolah-olah ia sudah pro berlari tanpa melihat apa yang ada di depannya.
Hingga—
Bruk!
Dug!
"Akh, Anjing!"
Jeno sok-sok-an, sih.
Dahinya berdenyut-denyut sekarang. Cowok itu tampak menahan sakit di dahi dan bokongnya yang nyeri. Wajar saja. Yang ia tabrak bukan dahi dengan dahi, tapi dahi dengan helm!
Di depannya, seorang cewek juga jatuh terduduk sambil mengusap-usap kaca helmnya.
Mungkin takut kacanya kenapa-napa.
"WOY CEWEK GILA! JANGAN LARI LO!"
"JENOOO!!!"
Siaga 1!
Jeno sudah terkepung sekarang. Ternyata cewek yang katanya gila di depannya ini juga tengah dikejar oleh beberapa cowok yang sudah pasti ada masalah dengannya.
Tanpa pikir panjang, Jeno langsung menarik lengan cewek itu. Membawanya kembali berlari. Tujuannya sekarang adalah tempat persembunyian yang biasa ia pakai jika sudah siaga 1.
Di belakangnya—siapa lagi kalau bukan Aluna—Aluna terlihat kaget, sampai-sampai melotot. Cewek itu mencoba melepas tangannya dari Jeno. Namun, seolah Jeno tahu, ia mengeratkan pegangannya.
Ini cewek kenapa, sih? Udah bagus gue tolongin!
Jeno bersungut-sungut dalam hati. Untuk sekarang, tidak ada waktu untuk berdebat. Lebih baik jika ia bisa cepat ke tempat persembunyiannya itu.
Hingga mereka sampai di tempat itu, dan Jeno mengambil tempat yang bagus untuk bersembunyi.
Aluna kembali melotot kaget. Nafasnya langsung tercekat saat ia memandang ke sekelilingnya. Bagaimana mungkin ia bisa di tempat yang banyak sampahnya?!
Jumlah bak sampah di tempat ini ada banyak. Lima—bisa saja lebih. Mungkin ini tempat pembuangan sampah terakhir di sekolah ini.
Rasanya Aluna ingin segera beranjak dari tempat itu—juga ingin teriak sekencang-kencangnya.
Tahu kalau Aluna ingin teriak, Jeno langsung membuka sedikit kaca helmnya dan mendekap mulut Aluna.
"Suuut! Nanti kita ketahuan!" Bisiknya pelan. Aluna menoleh dan melihat wajah Jeno—entah dengan ekspresi apa. Sudah berani memegang lengannya, membawanya ke tempat laknat, dan sekarang ia berani mendekap mulutnya?!
Untungnya Aluna langsung mendengar suara derap kaki menuju ke tempatnya. Ia tidak jadi memukul Jeno. Itu pasti cowok-cowok yang tadi mengejarnya. Untuk sekarang, ia hanya bisa menahan diri untuk tetap diam. Karena ini juga menyangkut keselamatannya.
"Tuh cewek kemana?"
"Cepet banget larinya!"
"Gue tau tempat ini. Soalnya gue pernah lewat sini sekali. Ini juga jalan ke warungnya Pak Dodi. Siapa tau tuh cewek udah lari kesana."
"Cepet! Ikutin gue!"
Mereka kembali berlari menjauh dari tempat itu. Jeno melihat-lihat situasi dan langsung berdiri begitu ia tahu situasi sedang aman. Tentu saja diikuti Aluna. Cewek itu menatap sekitarnya. Tidak ada pemandangan yang indah atau sekedar pohon mangga. Yang ada hanya bak berisi penuh sampah.
"Kita udah aman," ujar Jeno.
Kepala Aluna langsung berdenyut. Hal yang selalu ia rasakan saat ia melihat tempat seperti ini. Tubuhnya langsung ambruk begitu saja setelahnya. Untungnya, Jeno dengan sigap menahan tubuh Aluna.
"Anjir, ini cewek kenapa?!"
Pingsan, goblok!
Dengan inisiatif sendiri—walaupun sebelumnya tampak berpikir lama—ia langsung membopong tubuh Aluna dan berniat membawanya ke UKS.
Lagi pula, pasti Pak Ramli sekarang sudah kelelahan dan tak lagi mengejarnya. Jadi ia bisa bebas melangkahkan kakinya kemana pun. Jeno pun dengan cepat membawa Aluna.
"Menuju tak terbatas, dan melampauinya!"