Prolog

53 9 2
                                    

Seminggu sudah aku dan keluargaku menetap di Jogja, dan hari ini adalah hari ke limaku masuk sekolah. Kami pindah karna papa ditugaskan di Jogja.

"Hei ... pelan-pelan dong!" teriakku pada seorang cowok yang dengan sengaja menyenggol bahuku. Dan ternyata dia adalah Tommy, yang merupakan teman sekelasku. Cowok tengil dengan segala kelakuannya yang membuat seisi kelas 11 ips1 membencinya.
Buku-buku berukuran jumbo yang kubawa semuanya jatuh.

"Eh ternyata neng Raina Arumi Putri yah, sorry, akang tak melihatmu neng. Hahaha ...." cowok itu berjalan mundur dan berhenti di dekatku cuma buat mengejek. Tanpa rasa bersalah dan belas kasihpun dia pergi meninggalkan aku yang sedang menyusun satu-persatu buku.

"Huh, sepagi ini dia malah buat tensi darahku naik. Dasar cowok gila!" kataku pelan tapi ada sedikit penekanan pada kata gila.

Aku berjalan menuju kelasku yang letaknya sangat-sangat jauh. Jadi kalau jalan ke kelas berasa lagi olahraga, sampai kelas pasti keringatan. Yah, semua serba jauh dari jangkauan kelasku. Jauh dari perpustakaan, jauh dari lapangan, jauh dari kantin tapi dekat dengan wc.

Tiba di kelas, ekspresiku masih tetap sama. Mulut cemberut saat tak sengaja menatap Tommy yang sedang menyender di bangkunya.

"Kenapa kamu Rain? Kok cemberut gituh sih?" tanya Icha teman sebangkuku.

"Tuh!" sambil menunjuk ke arah cowok tengil yang membuat moodku hancur pagi ini.

"Oh, Tommy. Selalu saja dia." kata Icha mengangguk tanda mengerti apa maksudku.
Icha adalah orang pertama yang aku kenal di sekolah ini, dia juga tinggal di kompleks yang sama denganku.
Meski tinggal di kompleks yang sama, aku dan Icha tak pernah bertemu saat pergi sekolah.

•••🐈•••

Bel istrahat berbunyi, sebagian siswa memilih menghabiskan waktu istrahatnya di kantin sebagian lagi memilih tidur atau sekedar mengobrol di kelas.

"Kantin yuk!" ajak Icha sambil membereskan buku-buku dan menyimpanya di dalam laci.

"Enggak ah, malas," jawabku singkat.

"Oh yaudah" Icha meninggalkanku dan bergabung bersama teman-teman yang lain untuk pergi ke kantin.
Sementara aku sibuk membaca novel, sambil menandai kata-kata menggunakan stabilo biru, tiba-tiba saja datang cowok tengil dengan ajudan setianya.

"Lo dipanggil wali kelas tuh di ruang guru," kata si tengil gila dengan logat jawanya.

"Nggak percaya, kamu udah sering bohongin aku. Kali ini nggak mungkin bisa tertipu." aku menjawab tanpa menatap lawan bicaraku.

"Padahal gue jujur, si hujan nggak percaya sama omongan cogan kayak gue ini" Tommy merapikan rambutnya menggunakan jari tangan, rambut yang dipotong ala oppa korea dengan warna hitam dan poni yang disisir ke samping.

"Hus ...hus ... Pergi jauh-jauh sana!, ganggu ajah," kataku sambil memainkan tangan seperti orang yang sedang mengusir kucing.

"Lo harus tau yah, wali kelas kita ibu Hanna itu termasuk guru killer. Lo yang baru pindah ajah yang enggak tau" Tommy mencoba meyakinkan aku.

"Iyah betul, kamu kan pindah di sini baru beberapa hari belum tau aslinya ibu Hanna. Bisa-bisa ntar kamu dimarahin lagi" Fadli melanjutkan ucapan Tommy.

"Bodoh amat." aku masih menatap novel dan tidak memperhatikan mereka yang berdiri tepat di depanku.

"Hm, yaudah. Tunggu ajah dipanggil langsung sama bu Hanna." mereka berjalan menuju bangku masing-masing.

"Kalian serius nih?" aku menutup novel lalu memperhatikan mereka berdua yang sudah pindah tempat.

"Iyalah, cowok ganteng nan imut kayak marmut ini nggak berbohong kok." si tengil membuat aku ragu-ragu, kata-katanya terdengar bohong tapi ekspresinya begitu meyakinkan.

"Emang tadi bu Hanna bilang apa?" tanyaku untuk memastikannya karna masih ragu-ragu dengan ucapan dua sekawan ini.

"Bu guru bilang begini, 'nak Tommy, Fadli, tolong panggilkan si Raina dong bentar. Bu guru mau ngomong sesuatu sama dia' yah seperti itulah." Tommy mencoba menirukan suara dan gaya bicara bu Hanna yang ayu dan lemah lembut.

"Hmmm ... aku mencium bau-bau kebohongan di sini," kataku sambil menatap sinis dua manusia yang berada di depanku. Benar-benar ekspresinya susah untuk ditebak.

Mendengar ucapan Tommy, aku langsung membalikkan tubuhku. Dan mulai berpikir, harus ikut kata-kata mereka atau tetap cuek dan biarin saja? Aku membuat hipotesis, mereka mungkin berbohong toh selama inikan emang nggak pernah jujur sama aku tapi, bisa saja mereka jujur. Karna tak selamanya mereka bohongin aku apalagi sampai bawa-bawa wali kelas segala.

"Yaudah kalau enggak percaya, gue enggak rugi juga sih. Yang penting gue dan Fadli sudah sampaiin itu ke lo." kata Tommy.

"Betul ituh, terserah kamunya sih." lanjut Fadli yang sedang mengupas kuaci.

Setelah berpikir beberapa menit, aku membuat keputusan yang menurutku pasti benar.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku langsung menyimpan novelku dalam laci meja lalu meninggalkan mereka berdua. Berjalan keluar kelas untuk menemui ibu Hanna. Aku mempercepat langkahku, kadang berlari kecil agar bisa sampai dengan cepat.

"Oee, mau ke mana?" tanya Icha yang berpapasan denganku tapi tak aku hiraukan.

Tbc

•••🐈•••

Hy, jangan lupa vote bagian pertama ini dan berikan pendapat kalian tentang ceritaku.

Thx...


RAINaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang