Reizal.. anak Raizel?

1.1K 135 10
                                    

Tangan Frankenstein masih setia merapikan baju Reizal. Mengancingkan satu per satu dari kancing kemeja putih tersebut, dengan cekatan memasang dasi agar terlihat rapi. Tak lupa memasukkan kemeja itu ke salam celana yang kini sudah terpasang sabuk dengan rapi.

Pelayan pirang itu berlutut, mulai memasangkan kaos kaki diikuti sepatu pada kedua kaki Tuan Mudanya. Kini yang terlihat adalah Reizal yang rapi, bukan seberantakan tadi.

"Jadi, jelaskan padaku apa tadi maksudmu, Frankenstein."

Setelah mendapat ijin, Frankenstein duduk di sebelah Tuan Muda-nya. Menatap Raizel dengan sopan. "Sebelumnya ijinkan saya meminta maaf terlebih dahulu." Dirinya membungkuk kecil dalam posisi duduk, kemudian menegakkan diri menatap Raizel kembali. "Maaf, karena saya men'cipta'kan Tuan Muda Reizal tanpa sepengetahuan Tuan."

"Reizal ciptaanmu?"

Frankenstein mengangguk. "Saya.. saya tidak terima dengan perkataan salah satu kepala keluarga, jika Tuan Raizel -maaf- meninggal, maka Noblesse tak akan ada penerus kembali."

Hening sejenak.

"Jadi.. disaat saya melayani Anda, saya juga berusaha menciptakan keturunan untuk Anda. Tanpa Anda menikah, dan tanpa harus mencarikan Anda perempuan untuk dinikahi."

Raizel terdiam, wajahnya terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Tangannya kini kembali mengambil cangkir teh dan menyeruputnya pelan. "Aku mengerti."

Reizal terlihat tak kaget sama sekali, bahkan dia kini menatap Raizel telak.

Raizel yang merasa di tatap, langsung menatap balik lelaki muda tersebut. "Ada apa?"

"Jadi aku akan memanggilmu Ayah?"

Raizel menaruh cangkir teh, kemudian menatap Frankenstein. "Begitu?"

Begitu yang dimaksud disini adalah, benarkah Reizel akan memanggilnya Ayah. Yang akhirnya mendapat anggukan dari Frankenstein.

Melihat itu, Raizel menatap Reizal. "Ya, kau dapat menanggilku Ayah, Anakku."

Hening.

Mendadak suasana menjadi canggung.

Bagaimana tidak, Tuan dan Tuan Muda dari Frankenstein ini adalah orang yang pendiam, tak banyak bicara juga benar-benar tak mau membuka pembicaraan sama sekali.

"Kau sudah telat masuk, Tuan Muda."

Suara Frankenstein membuat Reizal tersadar. "Ah, aku akan masuk ke kelas sekarang." Dicangklongnya tas kemudian berdiri, membungkuk 90 derajat di depan Raizel lalu menegakkan tubuhnya kembali. "Aku pergi dulu, Ayahanda."

"Ya."

Mendengar itu, Reizal pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Frankenstein, membuat kini kedua orang tersebut dalam suasana hening.

"Frankenstein."

"Ya, Tuan?"

"Kelas itu apa?"

Hening kembali.

A Child of the NoblesseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang