Sena tidak pernah berlari sebelumnya, dan tidak pernah dia sangka bahwa berlari bisa membuat jantung berdebar. Entah ini karena kakinya yang harus bergerak cepat, atau karena perasaan ingin kabur yang berpacu dengan ketakutan, takut kalau-kalau Seokjin akan menangkapnya dan hal yang lebih buruk akan terjadi.
Namun, ada sesuatu yang membuatnya aman. Kelinci itu bilang Sena akan baik-baik saja selama kakinya masih memakai sepatu itu. Tidak akan ada yang menyadari keberadaannya dan dia bisa pergi dengan bebas, keluar dari kesengsaraan dan merasakan aroma kebebasan.
Sena tidak bisa mengingkari bahwa pada awalnya dia memang ragu. Dia takut, dan semua ini terasa begitu baru untuknya. Tapi dia menginginkan kebebasan.
"Selalu ada harga dari setiap tindakan, Nona." Begitu kata si kelinci, dan dengan berbekal kalimat itulah Sena akhirnya melangkah menyusuri hutan dengan cahaya bulan di atas kepalanya.
Langit yang sebelumnya jingga kini berubah ungu gelap. Langkah kaki yang sebelumnya bergerak cepat perlahan melambat, semakin lama semakin kecil, hingga di satu titik Sena memutuskan untuk berhenti.
Terlalu lama berjalan. Terlalu pegal untuk bergerak. Terlalu liar dahaga yang dirasakannya.
Sena nyaris saja mengerang jika matanya tidak beralih dan menangkap aliran sungai di dekat hutan. Dengan kaki yang sedikit terseok, Sena memutar haluan ke pinggir sungai. Air liur nyaris menyamai aliran sungai itu karena rasa haus yang melanda. Tubuhnya langsung berlutut, telapak tangan melengkung untuk mengambil air untuk diminum.
Tenggorokannya terasa begitu lega karena cairan itu mengalir ke dalam tubuh. Rasanya menyegarkan, namun tidak cukup. Sena rasa dia bahkan bisa mandi di sini, meskipun kalau dipikir-pikir lagi, itu jelas tidak mungkin.
Tubuh yang sebelumnya berlutut kini berubah posisi, kaki diluruskan dan dilemaskan. Matanya menatap sepatu kaca yang sialnya membuat kakinya agak merah. Dengan gerakan cepat kepalanya menoleh ke sekeliling, memastikan dia aman.
Yah, kelinci itu memang bilang sepatu ini akan membuatnya aman---membuatnya tidak terlihat. Namun tidak ada siapapun di sini. Sena aman bahkan tanpa sepatu itu.
Lagi pula, hanya membuka sepatunya sebentar untuk membasuh kaki bukan hal yang membahayakan. Bukan begitu?
Dengan keyakinan yang ada, Sena langsung menanggalkan sepatunya, menjatuhkan kaki ke aliran sungai dan membiarkan sensasi dingin melegakan menjalari kakinya. Rasa perih dan pegal seolah terbasuh begitu saja, membuat hela napas lega lolos dari bibirnya.
Terlalu dingin, terlalu nyaman, terlalu terbuai. Tanpa sadar Sena menghabiskan waktu lebih lama dari yang dia pikirkan. Gadis itu mungkin akan tetap menikmati rasa dingin menyenangkan di sekeliling kakinya jika tidak ada suara yang terdengar.
"Siapa di sana?"
Suara itu seketika membuat kepala Sena menoleh. Dari kegelapan hutan seseorang keluar, menampakkan dirinya. Sena awalnya terkejut, namun melihat laki-laki itu, sesuatu membuatnya lebih tenang.
Laki-laki itu kelihatan tenang, sama seperti sorot matanya yang tertuju pada Sena. Karena sering melihat Seokjin, Sena merasa bisa sedikit membedakan pemburu dengan orang lainnya, dan jelas laki-laki ini bukanlah pemburu. Yang dia bawa justru kuda. Sepatu boots cokelat itu terlihat licin, dan jubah cokelat si laki-laki kelihatan terlalu rapi bagi seorang pemburu.
"Kau tersesat?"
Masih dengan kaki yang terendam di sungai, kepala Sena menggeleng sebagai jawaban.
"Kau mau ke mana?"
"Ke kota."
"Sendirian?"
Kali ini kepala Sena mengangguk. Laki-laki kemudian mendekat, membuat Sena harus menengadah untuk menatapnya. Untuk sesaat mata keduanya bertemu. Bisa Sena lihat mata biru kelam dari laki-laki itu.
"Aku Jimin. Kau butuh tumpangan?" tawar si laki-laki itu. Tangannya terulur, berikut senyuman kecil yang terukir di wajahnya. Senyum itu terlihat manis, membuat sudut bibir Sena berkedut, ingin melakukan hal yang sama. Sayangnya, senyum yang dia buat kelihatan canggung.
Tangan Sena terulur untuk meraih tangan Jimin, dan dengan suara yang pelan dia membalas, "Sena."
"Nama yang bagus."
Satu pujian sederhana. Ya, Sena tahu. Namun rasanya sudah terlalu lama dia tidak diberi pujian. Malu-malu kepalanya menunduk, bibir berbisik menggumamkan ucapan terima kasih.
Jimin masih tersenyum, menatap Sena dengan tangan yang menggamit tangan kecilnya. Sena merasa nyaman, dan kelihatannya Jimin merupakan laki-laki yang baik.
Setidaknya, begitu yang dia rasakan sebelum sentuhan Jimin menggapai rambutnya, lengannya, terus hingga ke bawah.
Di malam itu, tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi di antara Jimin dan Sena. Semuanya berlalu dengan cepat. Bagaimana si laki-laki yang kelihatan baik tiba-tiba menggerakan tangannya dan melakukan sesuatu yang tidak pernah Sena sangka.
Sentuhan, tarikan, erangan, semua bercampur di pinggir sungai itu, namun hanya bulan yang menjadi saksi atas bagaimana seorang gadis yang terlena dengan aturan kecil yang diabaikan menangis ketika seluruh tubuhnya ditelanjangi.
Atau mungkin, bukan hanya bulan. Karena si kelinci pun ikut menyaksikan.
Dari kejauhan si kelinci tersenyum, menjadi penonton atas bagaimana seorang gadis malang justru mempermalang nasibnya, lepas dari kakak yang kejam dan terjebak dengan laki-laki dengan penampilan yang menipu. Sepatu kaca yang ada di dekatnya pecah begitu saja karena kebrutalan laki-laki penipu itu.
"Padahal kau bisa saja lolos jika menuruti aturan. Selalu ada harga atas setiap tindakan, Nona. Tapi manusia selalu menyepelekannya."
Selagi erangan gadis itu terdengar, kelinci itu memutuskan untuk berbalik, melompat cepat.
Hari ini, manusia masih sama. Masih menjadi kaum terlalu terlena dengan kenyamanan semata.
Tapi besok, tidak ada yang dapat menebak. Mungkin ada saatnya akan muncul manusia yang benar-benar bisa memahami aturan.
Dan si kelinci akan mencoba membuktikannya, dengan mencari orang-orang baru lainnya. []
T H E E N D
---
Seketika aku ngerasa kayak buat tahilalats yang ada pesan moralnya. Coba apa hayo pesan moralnya TROLOLOL.
Pendapat kalian dong buat dongeng pertama, hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravens of Aurora
FantasyTerkadang, kenyataan tidak seindah dongeng. Atau mungkin dongeng tidak pernah indah sejak awal. Aratakim, 2019. [Warning! This Story Might Contains Disturbing Things.]