Tenang bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Sejak kecil, Taeri dididik untuk menanggapi semua masalah dengan kepala dingin, karena api seringkali membakar jalan keluar. Namun kali ini, ketenangan seolah melangkah menjauh dari Taeri.
Taeri sama sekali tidak bisa duduk tenang bak sedikit pun, kecemasan menyelimuti—bahkan membakarnya hidup-hidup. Dia ingin menunggu, berpikir bahwa barangkali para pemburu sengaja bermukim di tempat lain, membuat si pengembara itu tidak melihat mereka.
Tapi jika memang bermukim, kenapa mereka tak kunjung muncul?
Pertanyaan itu menjadi minyak yang membuat kecemasan Taeri semakin membara. Tidak tahan untuk menunggu lebih lama lagi, Taeri akhirnya memutuskan untuk menyelidiki sendiri. Tidak ada lagi yang bisa dia harapkan, karena semua orang sibuk menelan rasa takut ketimbang mencari tahu.
Sehari mencoba menunggu dengan hasil yang nihil, Taeri akhirnya melangkah masuk ke dalam hutan sendirian. Ini jelas beresiko, tapi dia sudah merencanakan semuanya. Jika memang penyihir yang melakukannya, dia sudah membuat begitu banyak persiapan. Jubah penuh dengan gula, persediaan permen dan manisan dalam keranjak, hingga sepatunya yang ikut dia lumeri karamel. Taeri seolah manisan hidup yang berjalan melintasi hutan. Tapi setidaknya dia merasa aman.
Dia harap begitu.
Atas rencananya yang pintar—berikut kemampuan Keturunan Deva yang bijak dalam merencanakan sesuatu—Taeri memilih menjelajahi hutan di waktu siang, tepat di saat matahari berada di puncak kepalanya.
Hal itu sebenarnya tidak mudah. Dia harus mencari titik-titik di mana pohon bisa menutupi dirinya, atau manisannya akan meleleh. Selama 5 jam, Taeri berhasil menjelajahi hutan, namun tak satupun tanda yang dia temukan. Tepat seperti yang dikatakan si pengembara itu, memang hutannya kosong. Tidak ada siapapun di sini.
Hanya saja, tepat ketika langit berubah jingga, Taeri menemukan sesuatu. Sebuah gubuk kecil yang tersusun dari kayu. Bahkan dengan jarak puluhan langkah, Taeri bisa menangkap ada aroma tersendiri yang muncul.
Begitu sedap. Begitu harum. Begitu... manis.
Aroma itu mendorong Taeri untuk melangkah lebih dekat, tanpa sadar sudah berada di depan pintu. Sebenarnya Taeri ingin mengambil langkah mundur, terlebih ketika mendengar ada suara di sana.
Penyihir itu benar-benar...
"Kurang manis."
"Taehyung?"
Mata Taeri spontan membulat, sementara tangannya otomatis meraih gagang pintu, tenaga berlebihan membuat pintu terdorong begitu kuat hingga menabrak dinding. Taeri tahu betul yang dia dengar hanya suara Taehyung, meski jika orang lain mendengar, kemungkinan suara itu tidak lebih dari geraman belaka. Namun Taeri tahu dia benar. Dan memang, dia benar.
Hanya saja ada satu yang tidak pernah dia sangka.
"Taehyung, kau..."
"Kenapa kau bisa di sini, Taeri? Kau seharusnya tidak di sini."
Mata dan mata bertemu, terlempar untuk saling bertatapan lamat. Di depan Taeri memang Taehyung, dia tahu itu. Hanya saja, Taeri merasa ragu. Mata Taehyung terlampau gelap, dan tidak seharusnya darah mengalir dari mulutnya. Tidak. Bukan hanya di mulutnya saja. Tapi di seluruh tubuhnya.
Fokus yang sebelumnya terarah pada Taehyung seketika beralih, dan di detik itulah Taeri berjengit. Histeria yang hampir dia muntahkan tertahan dengan tangan yang berusaha menutup mulut. Air mata seketika turun dari matanya, sementara kepala menggeleng tidak percaya.
"Apa yang kau lakukan, Taehyung?"
Taehyung menghela napas, tangan berusaha menyeka bibir yang penuh dengan darah. "Aku tidak bisa mengendalikan diriku," gumam Taehyung. Kaki melangkah mendekat, seketika berlari untuk memeluk Taeri. "Ini ulah penyihir."
Tidak ada kata-kata yang bisa Taeri katakan. Tidak lagi, terutama ketika tangisan Taehyung tertangkap jelas di telinganya. Bisa Taeri rasakan genggaman di jubahnya, di lengannya, hingga tangan Taehyung berlari ke pahanya.
"Kau terlalu manis, Taeri," ujar Taehyung lagi, menyingkirkan jubah yang Taeri kenakan sebelum menenggelamkan wajahnya di ceruk leher sang adik. "Kau seharusnya tidak datang. Kau seharusnya tidak melihatku."
"Kenapa kau lakukan ini?" Suara Taeri terdengar serak, begitu pasrah.
"Karena, manis. Penduduk terlalu manis. Para orang tua lebih banyak memakan manisan ketimbang anaknya sendiri."
Sekarang dia mengerti dari mana asal darah itu.
Sekarang dia tahu kenapa tidak ada satu pun pemburu yang pulang.
Sekarang dia tahu kenapa semuanya hilang.
Jubah gula buatannya ini jelas sama sekali tidak membantu, malah memperburuk masalah. Tiap manisan yang Taeri lakukan membawa musibah.
"Aku... minta maaf, Taeri. Sungguh."
Ketika gigi-gigi Taehyung tertancap di leher Taeri dan mengoyak daging-dagingnya, sekarang Taeri mengerti. Dialah penyebab semua ini. Dia yang menciptakan monster di desa. Tidak ada lagi yang bisa Taeri lakukan selain mengucapkan sebuah kalimat sebagai salam perpisahan bagi kembarannya.
"Kaulah penyihirnya, Taehyung."
Setidaknya, Taeri belajar sesuatu di detik-detik terakhir hidupnya. Terkadang, sesuatu yang manis hanya mendatangkan malapetaka.
Kalau kau tidak percaya, cobalah. Atau mungkin kau mau langsung mencoba manisnya daging manusia bercampur balutan gula bersama Taehyung? []
T H E E N D
---
This is getting creepier for sure. Masih kuat kalian?
Anyway, aku numpuk dongeng buat ke depannya. Ada saran?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravens of Aurora
FantasíaTerkadang, kenyataan tidak seindah dongeng. Atau mungkin dongeng tidak pernah indah sejak awal. Aratakim, 2019. [Warning! This Story Might Contains Disturbing Things.]