Keputusan terberat yang pernah Arisa buat sebelumnya adalah menandatangani surat untuk menyerahkan tanah peninggalan sang nenek pada bibinya—atas permintaan sang ayah—yang tentu saja, itu sebuah keputusan yang salah.
Hanya dalam beberapa hari setelah penandatanganan, tanah itu sudah berpindah pemilik. Bibi Sura menjual tanah itu untuk uang melimpah, tanpa ada pemberitahuan pada Arisa.
Arisa pikir, itu keputusan terberat dan terbodoh yang pernah dia buat. Namun waktu berkata lain. Keputusan lain harus dia buat, dan kali ini semua itu tidak ada hubungannya dengan benda ataupun warisan.
Tapi dengan dirinya sendiri.
Kerajaan Matahari membutuhkan prajurit lebih, dan semua laki-laki diharuskan ikut bertempur dan membela wilayahnya, termasuk Ayah Arisa. Tapi Arisa lebih tahu dibanding siapapun, ayahnya bahkan sudah tidak bisa mencari kayu bakar sendiri di hutan. Si prajurit terlatih dengan beberapa piagam di rumah kini tidak lebih dari seorang penduduk biasanya yang seharusnya menikmati masa hidupnya di rumah.
Atau mungkin, sebaiknya Ayah benar-benar beristirahat.
Di malam itu, Arisa menyiapkan semuanya. Rambut hitam legam sebahu yang sebelumnya bertahta di kepala kini lenyap, digantikan potongan rambut yang sama seperti sang ayah. Arisa mengambil baju-baju ayahnya dan menyesuaikan ukurannya agar dapat dia gunakan.
Butuh satu malam untuk melakukan semuanya.
Butuh satu pilihan untuk merubah hidup.
Dan butuh satu racun, untuk benar-benar memastikan Arisa-lah yang akan maju.
Hari itu, prajurit datang. Arisa bersiap dengan semuanya, dengan dirinya yang baru. Rumah benar-benar tidak berpenghuni karena kepergiannya, dan juga kepergian sang ayah.
"Aku yang akan menggantikan Ayah," jawaban itu keluar dari mulut Arisa dengan lantang.
Salah satu prajurit memandanginya dari atas hingga bawah, memberi rasa takut pada Arisa. Namun tangannya mengepal kuat. Sudah banyak hal yang dia persiapkan untuk saat ini. Dia harus bisa. Dia harus pergi ke sana.
Dia bahkan mengorbankan ayahnya untuk sesuatu. Dan dia yakin kematian sang ayah tidak akan sia-sia.
"Aku tidak tahu Panglima Aaras punya anak laki-laki," celetuk panglima yang sedari tadi memperhatikan Arisa.
"Aku sering berada di luar. Aku pemburu."
"Ah, begitu."
Arisa menelan ludahnya, merasa bulir-bulir keringat mulai keluar dari pori-porinya. Meski begitu, nampaknya Dewi Fortuna masih berpihak padanya—setidaknya untuk hari ini.
"Kurasa apapun itu, Kerajaan Matahari tetap membutuhkan tenaga. Kuharap kau cukup berguna."
Arisa tersenyum, mengangguk pasti. "Kupastikan aku akan berguna. Jangan khawatir."
"Kau dari Keluarga Sunniva. Paling tidak kau mewarisi kemampuan itu dari keluargamu."
"Apa aku harus melewati tes tertentu?" tanya Arisa.
"Kau akan dites langsung di regionmu." Kepala prajurit itu beralih ke arah teman di sampingnya yang berambut pirang. "Region mana yang kosong?"
"Utara. Tempat Pangeran Jordanius Tiga."
Mendengar jawaban itu membuat Arisa terbelalak, dia bahkan tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Kau bilang… Pangeran?"
Si prajurit rambut pirang seketika menjawab, "Kau beruntung hari ini."
Oh, tentu Arisa tahu dia beruntung. Namun tidak dia sangka keberuntungannya akan sebanyak ini.
Dia terlalu beruntung.
Keterkejutannya sontak berganti menjadi senyum kecil, jeritan kecil dalam hati Arisa lantangkan.
Nampaknya semuanya akan berjalan lancar, atau bahkan lebih lancar dibanding apa yang dia pikirkan semuanya.
Dia yang telah mengambil nyawa ayahnya. Dia juga yang akan membalaskan dendam ayahnya.
Dia yang akan menggantikan ayahnya.
Ayahnya nyaris gila—atau sebenarnya, memang sudah gila. Tapi Arisa tahu siapa penyebabnya. Si pangeran Jordanius ketiga itu.
Dia akan membalas semuanya.
Kedua prajurit itu membawa Arisa untuk masuk ke dalam kereta dengan dua pria lain yang sudah duduk di dalam sana.
"Oh, ada anak baru," celetuk salah satunya, dengan rambut pirang kemerahan sambil tersenyum.
Satunya lagi, dengan rambut perak, menolehkan kepala kepada prajurit berambut pirang dan bertanya, "Dia akan masuk region utara?"
"Kalian bertiga mungkin diletakkan di tim yang sama."
"Bagus kalau begitu." Arisa hanya bisa diam, duduk dengan kedua tangan yang mendarat pada paha. Hanya saja ketika dua orang asing di dalam kereta memandanginya, buru-buru dia mengubah posisi duduknya, berusaha menirukan bagaimana ayahnya duduk, dengan punggung yang tegak dan tangan yang menyilang.
"Aku Taehyung," kata si laki-laki berambut pirang kemerahan, kemudian dagunya bergerak menunjuk temannya, "dan ini Yoongi."
"Senang bertemu kalian."
"Oh, begitu sampai di region kau tidak akan senang," celetuk Yoongi tiba-tiba. "Kau sendiri?"
Butuh beberapa detik bagi Arisa untuk berpikir atas pertanyaan Yoongi, dan beberapa detik lagi untuk menjawab.
Sesaat hening, diam-diam Arisa menggigit dinding mulutnya. Tatapan Yoongi dan Taehyung kini sepenuhnya tertuju padanya, membuat sedikit rasa gemetar menghantui.
Hanya saja, Arisa tahu dia tidak perlu takut. Tetap pada rencana, batinnya.
Dan setelah beberapa detik, akhirnya Arisa membuka mulutnya.
"Panggil aku Arial."
*

KAMU SEDANG MEMBACA
Ravens of Aurora
FantasyTerkadang, kenyataan tidak seindah dongeng. Atau mungkin dongeng tidak pernah indah sejak awal. Aratakim, 2019. [Warning! This Story Might Contains Disturbing Things.]