Farissa tersenyum puas menutup dua kotak bekal yang khusus dia buatkan untuk Abi dan juga Bapaknya. Sebagai ucapan permintaan maaf karena sudah bertingkah tidak mengenakkan semalam.
Semalaman Farissa merasa gelisah. Antara bersalah dan kangen Bapaknya Abi. Lah?
"Astagfirullah... kenapa jadi mikirin Bapaknya Abi terus."
Farissa memasukkan dua kotak bekal berwarna merah muda itu kedalam tas sambil menggeleng menjauhkan bayangan Bapaknya Abi yang sampai sekarang belum tau siapa namanya.
Bukan salah Farissa juga sampai terus-terusan memikirkan Bapaknya Abi. Lha wong jadi orang kok ganteng banget. Untung songong jadi nggak jadi sayang.
"Mau kemana bawa kotak bekel pagi-pagi gini. Eh subuh gini.. udah shalat belum?"
Alis Syafira mengkerut heran melihat anak gadis satu-satunya yang biasanya setelah shalat subuh tidur lagi. Atau jogging di sekitar komplek. Sekarang sudah rapi dengan kerudung pasmina berwarna ungu. Pakek bawa kotak bekel segala.
Mau piknik emang?
"Udah Ma. Icha mau kerumah Abi anter makanan."
"Untuk Abi atau untuk Bapaknya Abi?"
Salah tingkah. Farissa memperbaiki kerudungnya. Lalu menggeleng malu. Langsung saja Syafira melotot. Sejak kapan anak gadisnya bisa senyum malu-malu dan kelihatan kalem.
Alhamdulillah kalau sudah tobat. Nggak repot bawa ke tempat ruqiyah.
"Untuk Abi Ma. Udah ah Mama jangan godain Icha. Icha pergi Assalamu'alaikum."
Farissa mencium tangan Syafira lalu segera melesat ke rumah Abi. Kalau tidak cepat-cepat. Kemungkinan besar Abi sudah berangkat sekolah dan tidak merasakan masakan perdana Farissa yang maha dasyat ini. Jangan lupakan Bapaknya Abi yang juga tidak bisa merasakan kalau sampai dia terlambat datang.
***
"Mbok Jum nggak masak Yah?" Tanya Abi melihat meja makan kosong melompong. Hanya ada segelas susu dan secangkir teh yang baru saja diletakkan Satria di meja.
"Mbok Jum nggak enak badan. Abi sarapan di sekolah aja ya. Atau mau Ayah masakkin sesuatu?"
Abi menggeleng. Menarik kursi lalu dia dudukki.
"Makasih Yah. Abi sarapan di sekolah aja. Takut Ayah telat ke kantor."
"Susunya di minum dulu." Grasak grusuk Abi menempelkan gelas ke bibirnya. Tetapi urung menenggak isi gelas karena teguran Satria. "Bismillah dulu Abi."
Abi nyengir menuruti ucapan sang Ayah. Satria menyeruput teh hangatnya sambil mengamati putranya yang sudah beranjak remaja. Senyum kecil terbit di bibirnya. Tapi dadanya juga merasa sesak.
Sedari kecil. Abi hanya dirawat dan diasuh dirinya sendiri tanpa kasih sayang seorang Ibu. Menginjak usia dua tahun. Bunda Abi meninggal karena sakit. Sampai sekarang pun. Satria belum bisa melupakan almarhummah istrinya yang begitu baik dan shalihah.
"Ayah nanti jangan pulang telat lagi. Abi mau minta ajarin buat PR."
Satria tersentak.
"Insyallah kalo kerjaan Ayah nggak banyak. Nanti kalo Ayah pulang telat. Abi jangan tunggu Ayah pulang. Tidur aja duluan. Oke boy?"
"Abi do'akan pekerjaan Ayah cepet selesai."
"Aamiin. Ayah usahakan pulang cepat. Jangan sedih gitu dong."
Satria mengacak rambut Abi yang langsung tersenyum. Mereka bercanda sebentar tapi bunyi bel rumah mengintrupsi.
Satria berdehem kecil melihat siapa yang datang. Padahal dia kaget kasir aneh berdiri di depan pintunya membawa tas entah apa isinya. Tidak ketinggalan senyuman lebar yang selalu tersungging di bibir tipisnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bapak, Jadi Imam Saya Yuk![Complete]
ComédieFarissa, si muslimah ulet keket yang tidak bisa diam barang sejenak. Menyukai duda Satria baja hitam yang cool bagai kulkas berjalan. Bagaimana jadinya?