Sepulang dari rumah Bapaknya Abi. Farissa langsung melesat ke supermarket sang Mama yang lumayan jauh dari kediaman Bapaknya Abi. Kalau ditempuh menggunakan angkutan umum mungkin lima belas menitan.
Ngomong-ngomong tentang bapaknya Abi. Dia jadi malu sendiri karena insiden kotak bekel tadi. Beneran deh Bapaknya Abi bisa banget bikin dia kegeeran. Lha iya... dia pikir Bapaknya Abi ulurin tangan supaya di salimin dia. Ternyata mau minta kotak bekelnya.
Rasanya pengen nyebur ke empang Pak Mamat aja kalau gini caranya. Malunya sampai keubun-ubun. Kalau ketemu lagi dia pake kantong kresek aja buat nutupi muka.
"Jangan ngelamun ndak baik. Noh ada yang bening."
Ucapan mbak Maita membuatnya sadar kalau dia sedang menjaga mesin kasir bergantian dengan mbak Maita yang sudah leyeh-leyeh sambil teleponan sama suami tercinta.
Iri rasanya setiap melihat mbak Maita diteleponin mas Galih setiap dua jam sekali untuk mematau kondisi mbak Maita. Lah dia? Boro-boro. Operator aja males mampir ke hapenya.
"Makasih mas. Jangan lupa balik lagi. Kalo nggak balik lagi rugi lho. Ndak bisa liat saya nangkring di sini."
"Sama-sama mbak cantik."
Semenjak kenal bapaknya Abi yang namanya masih rahasia illahi. Hambar rasanya melihat cowok bening. Sudah tidak ada sensasinya. Biasa aja.
"Gas terooossss menjemput calon imam."
"Ssstttt... teleponan aja sana. Ndak usah bawel ya bumil."
"Udah selesai kok. Mas Galih terjun ke lapangan." mbak Maita menunjukkan foto mas Galih yang sedang berada di dalam mobil.
Ish... ish... ish... sangat tidak menghargai seorang singlelillah disini. Astaghfirullah semakin lama kok nyesek pengen nyusul ke pelaminan.
Ya Allah hilalnya kemaren udah keliatan. Kok ya sekarang udah ndelep lagi. Bapaknya Abi kayaknya ndak sreg sama aku. Disalimin aja dilap-lap di celana. Emang najis mughaladzoh apa ya? Batinnya.
"Gimana sama bapaknya Abi Abi itu? Hati-hati ya Cha. Bukannya mbak nakut-nakutin. Mbak ndak mau kamu cuman dimainin. Gini-gini kan kamu udah mbak anggap adek sendiri."
Mbak Maita menunjukkan wajah serius. Farissa membetulkan kerudungnya. Ah masa bapaknya Abi tega mainin dia. Lha wong ngelirik aja kayak males.
"Kayaknya harus lambaikan tangan ke kamera deh mbak. Ndak suka dia sama aku. Ketemu hobinya marah-marah wajahnya itu lho judes banget kalo sama aku."
"Kapan kamu ketemu?"
"Tadi pagi. Kan aku nganterin makanan buat Abi sama Bapaknya."
Ups keceplosan kan. Farissa melirik mbak Maita yang pasang muka sangar. Alamak... bahaya ini kalau sudah berurusan sama ibu hamil yang emosinya suka meletup-letup. Bisa dilempar mesin kasir dia nanti.
"Tuh kan. Baru kemaren mbak bilangin. Jangan terlalu di gas Ichaaaaa. Semakin di gas semakin kabur bapaknya Abi ya Allah. Masuk telinga kanan..."
"Keluar telinga kiri." Sahutnya.
"Salah! Masuk telinga kanan mental lagi. Ndak sampe ketelinga kiri."
"Terus gimana dong mbak?" Rengek Farissa menggoyang-goyang lengan mbak Maita.
"Ya ndak gimana gimana. Wong dia ndak mau ya ndak bisa kamu paksa."
"Bukan ndak mau mbak. Tapi belum mau."
Bibir Farissa sudah maju. Dirinya optimis kalau bapaknya Abi lama-lama juga suka. Abis dia sudah sreg banget sama bapaknya Abi.
Bukan hanya tampan luar biasa. Tapi aura dan pembawaannya yang tenang dan dewasa membuatnya kepincut sejak pandangan pertama. Walaupun sedikit judes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bapak, Jadi Imam Saya Yuk![Complete]
HumorFarissa, si muslimah ulet keket yang tidak bisa diam barang sejenak. Menyukai duda Satria baja hitam yang cool bagai kulkas berjalan. Bagaimana jadinya?