"Lapor! Saat ini target terus bergerak menyusuri koridor. Tidak lama lagi dia akan sampai di ruangan ini!"
Sang komandan mengerutkan dahi dan mengangguk terhadap peringatan bawahannya. Mata birunya langsung menatap layar lebar yang terhubung dengan kamera pengintai. Ketika melakukan itu, sesekali dia mengisap sigaret agar dirinya tetap fokus.
Di dalam monitor tampak ruang aula dengan meja dan kursi yang berserakan di sana-sini.
Dua puluh tentara yang dilengkapi jaket anti peluru serta persenjataan lengkap sedang bersiaga dalam formasi melingkar.
Di tengah lingkaran itu, berdirilah seorang gadis yang hanya memakai pakaian biasa--celana jeans hitam dan kaus hitam yang dibalut blazer putih bergaris merah.
Selagi menyilangkan tangan, gadis itu tertawa kecil.
"Apa cuma sebanyak ini jumlah pasukan yang komandan kalian kirim?"
Mata heterokromianya--biru dan kuning--tampak terbakar.
Pemimpin pasukan tersebut mengabaikan pertanyaan si gadis dan berteriak, "Langkahmu akan terhenti di sini!" Dia mengangkat senjatanya. "Semuanya, tembak!"
Hujan peluru dilepaskan, dan semuanya tertuju pada satu titik: jantung si gadis.
Akan tetapi, suhu di ruang aula tiba-tiba meninggi secara signifikan, sampai pada level yang tak tertahankan. Api biru muncul di depan gadis itu dan melelehkan peluru-peluru yang datang.
Sesaat berikutnya, terdapat keheningan yang mencekam. Tidak ada satu pun tentara yang dapat bersuara. Mereka semua telah jatuh ke dalam suramnya jurang keputusasaan.
Sementara itu terjadi, si gadis dengan santainya melambai ke kamera pengintai.
"Tidak perlu khawatir, Ayah. Sebentar lagi aku bisa memenuhi janji kita--menjadi lebih kuat darimu, lalu ... membunuhmu."
Bersamaan dengan senyum di wajahnya, semua yang ada di ruangan itu dilahap oleh api neraka.