3

365 44 3
                                    

Membawa Kevin ke supermarket sama halnya seperti membawa anak umur sepuluh tahun bertamasya. Banyak maunya dan begitu excited, jalan kesana kemari mengambil apapun yang dia inginkan dan menaruhnya ditroly belanjaan. Marcus sekarang tahu kalau Kevin adalah sosok yang ceria dan juga tidak tahu umur, tidak dengan tingkahnya dan juga tidak dengan parasnya, usianya boleh sembilan belas tahun tapi wajahnya masih seperti anak SMP yang baru pubertas. Awalnya Marcus shock saat Kevin tiba-tiba menghilang karena sebelumnya Kevin berada di belakangnya yang tengah memilih sabun mandi tapi untungnya hanya sesaat, Kevin muncul lagi dengan memeluk lima atau tujuh cup mie instant.

"Ko mau ini ya?"

"Enggak." Tolak tegas Marcus.

Kevin langsung memasang wajah cemberut. "Katanya boleh minta apa aja? Koko bohong nih."

"Boleh minta apa aja asal jangan mie instant."

"Tapi aku mau ini."

"Mau itu atau saya tidak mau membelikanmu pizza lagi?"

Setelah ancaman itu baru Kevin mau mengembalikan cup mie di rak asalnya, entah betul atau tidak. Kevin muncul lagi saat Marcus sedang membaca kemasan sabun antiseptik.

"Baca apaan sih? Kok serius banget." Kevin ikut melongok, kepalanya yang muncul tiba-tiba membuat Marcus terkejut sampai sport jantung.

"Jangan ngagetin gitu lah Vin."

"Ngagetin apanya? Kokonya aja yang terlalu serius." Kevin sepertinya mudah sekali memanggil Marcus dengan sebutan Koko seperti sudah mengenal lama, sedangkan Marcus saja masih canggung untuk memanggilnya dek. "Udah ambil aja yang banyakan." Kevin meraup enam pouch sabun cair antiseptik dan memasukkannya ke dalam troly seperti tidak sabaran karena Marcus terlalu lama memilih sabun mandi, padahal mau pakai yang mana saja juga oke yang penting sabun dan bisa pakai mandi, menurutnya. Kemudian dia menghilang lagi, Marcus membiarkannya kali ini dan memilih mencari perlengkapan mandi yang lain.

"Ko mau ini yah." Kevin menenteng chitato ukuran jumbo beberapa rasa dan meluncurkannya ke dalam troli.

"Ko mau ini yah." Kali ini Lays ukuran jumbo berbagai rasa ikut menyusul.

"Ya ampun Vin, banyak amat beli chikinya, memangnya kita mau jualan apa?" Marcus mengambil beberapa chiki yang dimasukan Kevin ke dalam troli.

"Mau diapain?"

"Taruh lagi. Kamu nggak boleh makan chiki banyak-banyak nanti kapan pinternya." Marcus mengembalikan beberapa chiki ditangannya ke rak sesuai dengan jenisnya, dia jadi menyesal membawa Kevin ke lorong surga makanan ringan ini, tapi mau bagaimana lagi Marcus juga pengin membeli biskuit kesukaannya dan tempatnya ada disatu lorong ini.

"Tapi aku mau itu."

"Tidak, dua aja cukup."

Marcus langsung menggeret Kevin untuk mengikutinya memilih bahan-bahan mentah makanan.

"Kenapa kita beli semua ini? Memangnya koko bisa masak?" Kevin bertanya ketika Marcus mengambil sawi dan brokoli kemudian memasukkannya ke dalam troli.

"Ya."

"Beneran?" Kevin terlihat antusias sekali, dalam pikirannya kalau Marcus bisa memasak masakan rumah berarti dia tidak perlu sering-sering makan diluaran yang pasti selalu direcoki dua kakak adik rempong itu.

"Saya sudah biasa mandiri waktu kuliah di Amerika."

"Koko kuliah di Harvard?" Tebak Kevin semakin antusias ingin mengetahui tentang Marcus lebih jauh. Marcus mengangguk sebagai jawabannya. Waow, kalau Marcus saja bisa kuliah disana, berarti pria ini bukan orang sembarang, mari coba kita flashback, kemarin saja Marcus bisa membeli satu set properti rumah bahkan tanpa keluar dari apartemen, setelan jas yang dikenakannya juga terlihat tidak murah dan sekarang Marcus mengajaknya belanja semua kebutuhan mereka, belum lagi mobil alphardnya. Apa uangnya sebanyak itu? Apakah dia anak seorang pengusaha atau perjabat? Tapi jika benar, lalu ada hubungan khusus apa Marcus dengannya?

BONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang