Prolog

30 0 0
                                    

Langit malam semakin kelam, hanya diisi taburan bintang tanpa ditemani sosok rembulan. Jalanan Jakarta yang macetnya minta ampun ketika akhir pekan tiba, membuat perjalanan mobil ayah terhambat. Dan lagi lagi helaan nafas gusar yang berasal dariku terdengar cukup nyaring, karena suasana mobil yang hening

Jemariku mengetuk jendela mobil, dan sesekali menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan, berharap waktu bisa dihentikan dan aku bisa langsung berada ditempat perkemahan saat ini juga.

Detak jantungku semakin berdegup kencang tatkala Inara menelepon memberi kabar, bahwa acara perkemahan sudah dimulai

"Ayahhhhh" rengekku dengan nada menyentak, kesal

Tatapanku tak bisa beralih pada handphone yang kugenggam dan mengetikkan beberapa pesan pada Inara, mengabarkan bahwa aku akan sampai sebentar lagi. Walaupun aku sendiri tidak tahu, sebentar seperti apa yang aku maksud

Ditengah kegelisahan yang melanda, mesin mobil tibatiba mati. Dengan wajah yang merah, dan mata yang memanas menahan tangis, kepalaku menengok pada ayah yang juga menatapku dengan tatapan iba

Bukannya menenangkan, ayah malah meninggalkanku sendirian di dalam mobil dengan wajah yang basah diguyur air mata kegelisahan. Apa jadinya jika seorang anak baru telat mengikuti program masa orientasi siswa hari ke-3. Yaitu berkemah di kebun pines dekat sekolah?

Air mataku semakin deras jika terus teringat wajah wajah para osis yang garangnya minta ampun.

Kemudian, aku mengusap air mataku dengan segera ketika pintu mobil diketuk oleh ayah dan memerintahkanku untuk turun menemuinya

Dengan langkah gontai, dan mata yang memerah tanpa sedikitpun senyuman aku berjalan mendekat ke arah ayah yang berdiri disamping trotoar jalan

"Nada tunggu disini. Ayah ambilkan ransel kamu" ucapnya, lalu berlari ke arah mobil sebelum sempat aku menjawab

Udara dingin bercampur karbon karbon berbahaya dari kendaraan dan suara saut menyaut klakson yang mereka bunyikan membuatku muak. Apalagi dengan polusi yang berasal dari knalpot mereka yang bertebaran di udara, menyebarkan wabah penyakit ke setiap manusia yang menghirupnya. Termasuk aku. Walaupun kedua telapak tangan telah menutupi seluruh bagian hidung, karbondioksida hasil pembakaran mesin kendaraan menerobos masuk melalui celah jemari yang tidak tertutup rapat

Dikesibukanku berusaha menghindari gas karbondioksida, manikku menangkap sosok ayah yang berlari dengan membawa ransel di satu tangannya dan gesit melewati setiap kendaraan yang menghalanginya, walaupun cacian terlontar padanya. Ayah tetap berjalan dengan sesekali melemparkan senyuman permohonan maaf karena telah menghalangi pandangan para pengguna jalan

Sosok ayah yang bak pahlawan dianatara gelapnya malam dan kemacetan jalan, melambaikan tangan ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum simpul dengan haru yang menjalar di setiap detak jantungku.

"Nih ransel kamu. Ayah gak bisa anterin kamu. Tapi gak usah khawatir. Tadi ayah ketemu sama temen kamu, kamu nebeng aja sama dia ya.... tadi dia ada di..." Ucapan ayah berhenti ketika pandangannya tak jua menemukan sosok yang dimaksud

Aku meneliti wajah ayah yang sedikit tersorot lampu kendaraan, wajahnya yang mulai keriput dan juga brewoknya yang baru dicukur tak melunturkan kegigahan ayah. Aku tahu ayah selalu membantu, tapi tidak dengan sosok yang ayah maksudkan itu. Mungkin yang dimaksud ayah sudah pergi entah kemana, mana ada manusia yang rela ditumpangi gratis. Apalagi seumuran denganku, itu tidak mungkin. Pikirku

Melihat kekecewaan di wajah ayah dan kegelisahan di setiap nafasnya, aku lebih baik tidak ikut berkemah. Apapun konsekuensinya,aku rela dihukum oleh para senior, asalkan wajah ayah kembali ceria seperti biasa

F.R.I.E.N.D.STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang