7

13 0 0
                                    

Curiga itu perlu. Bukan karena sebuah ketidakpercayaan namun karena mengatasnamakan kepedulian agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan

Kini, Derren tak lagi berada di belakangku melainkan berjalan di sampingku. Kami terus menyusuri arah menuju gerbang, kurasa

"Der, kita mau kemana?" Ulangku, karena belum mendapat jawaban pasti darinya

"Lo naik taksi aja ke rumah gue, gue ngikutin lo di belakang"

Langkahku terhenti, begitupun Derren.

"Oh yaudah. Gih pergi. Gue bisa sendiri ko. Ga usah dianterin gitu deh Der, gue bukan bocah walaupun tubuh gue masih kayak bocah" ucapku yakin

Matanya mengunci mataku sesaat. Membuat jantungku berdetak sangat cepat. Ini untuk pertama kalinya Derren menatapku dengan tatapan seperti itu

Tiba tiba Rara berteriak memanggil namaku dan Derren bergantian, mengatur nafasnya yang terengah-engah ketika sudah berada tepat dihadapan kami.

Ia menyeka peluh di dahi, membenarkan anak rambutnya yang menghalangi pandangan. Akibat berlari terlalu kencang, angin membuat rambut Rara berantakan

"Der, lo pergi sama Nada aja, Cita bawa motor ko. Biar kita bisa langsung pulang tanpa harus kesini lagi. Gue ngerasa gak enak kalau gak kompak pake motor gini"

Benar. Aku setuju dengan Rara. Sebenarnya hal itu sudah berada di ujung lidah, namun sulit untuk di bicarakan kepada mereka. Rara memang seseorang yang sangat peka.

Tak sadar, aku tersenyum sembari menatap Rara. Bukan karena wajahnya, namun karena kepeduliannya

"Tapi, aku gak enak sama Cita. Kasihan dia udah naik motor Derren"

Kikkkk

Obrolan kami terhenti ketika Cita memberhentikan motornya dihadapan kami. Wajahnya tanpa ekspresi namun senyumnya bibirnya sedikit terangkat. Walau kesan meremehkan yang kudapat dari arti senyumannya

Ia melepaskan helm yang dipakai, lalu mematikan mesin motornya

"Gue mau nganter nyokap belanja. Ntar kalau ada waktu gue nyusul" ucapnya tanpa basa basi

"Cit, gue aja yang bawa motor lo ke rumah Derren. Lo dibonceng aja sama Derren. Gimana? Boleh gak? Lo harus ikut"'

Cita diam sejenak.

"Oke. Titip salam buat nyokap lo, semoga belanjanya lancar. Gue bungkusin khusus buat lo karena gak ikut. Besok gue bawa"

Ucapan Derren mengakhiri permasalahan. Cita sudah pergi, tinggal kami berempat yang dibawa oleh motor melaju melewati gerbang.

Ketika motor kami memasuki kawasan kompleks. Rumah dengan arsitektur paling mewah dan berbeda sudah mencolok perhatian, itu adalah rumah Derren.

Rumah rumah mewah lainnya yang saling berjejer dan berhadapan menyanbut kami. Sepanjang perjalanan, pohon pohon cemara yang di tanam di pinggir jalan memberikan kesejukan. Aroma udara disini tidak cukup buruk, walaupun tidak sebaik di kampung nenek di Bandung

Kamipun akhirnya tiba. Ternyata sudah banyak mobil yang memenuhi garasi rumah keluarga Malik-marga Derren.

Tidak heran jika keluarga Derren sekaya ini dan banyak memiliki kolega. Mereka terkenal sangat baik, selalu memberikan sumbangan kepada yayasan, bahkan memiliki panti sosial yang menampung anak anak jalanan dan yatim piatu. Mereka sangat dermawan. Apalagi ditambah kecintaan mereka terhadap islam,sangat kental.

Awalnya akupun heran pada Derren. Tidak percaya bahwa inilah rumah dia, atau ia lahir dari keluarga Malik yang selalu tersorot kamera. Bahkan aku berani bertaruh kalau Derren tidak pernah masuk TV seperti Ka David yang tak asing di mata para pemirsa

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 31, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

F.R.I.E.N.D.STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang