Dua

1K 327 421
                                    

Matahari begitu terik membuat tubuh berpeluh. Jam tepat bertengger di angka dua belas siang. Kantin menjadi salah satu tempat alternatif yang penuh dengan pendatang mencari makan. Pelayan akan bekerja ekstra pada jam ini. Mereka akan memenuhi nafsu yang datang dari perut para mahasiswa. Suara berkoar-koar memenuhi relung kantin. Tawa yang menggelegar. Cerita yang penuh drama. Jika dirimu hanya diam, telinga akan terasa sakit mendengar semua suara yang masuk secara bersamaan.

Matanya menyelinap ke setiap meja, mencari sosok yang sepertinya tidak muncul di arena. Sekali lagi ia mengintip setiap sisi, tetap tidak mendapatkan.

"Kamu tidak akan menemukan dia di sini. Dia bukan makhluk yang akan hidup dalam keramaian," bisikan Tasya menjawabnya.

"Terus di mana aku bisa lihat dia?"

"Apa pentingnya dia? Mending kamu duduk dan temani aku makan siang."

Tasya menarik tangan Gavin menuju salah satu tempat yang masih kosong. Gavin hanya mengikut, tanpa menolak sedikit pun. Dia akan menggunakan momen ini untuk mencari tahu lebih tentang perempuan itu. Ia memperhatikan Tasya yang dengan santai mengunyah batagor dan menyeruput es teh manis.

"Kamu tidak punya teman?" tanya Gavin polos, sontak membuat Tasya membelalakkan mata.

"Aku? Temanku banyak di mana-mana. Aku bukan Tammy."

"Jadi namanya Tammy?" gumam Gavin.

"Tamara Zayeda. Dan dia sering dipanggil Tammy. Meski tidak akan ada panggilan yang disahutnya, kecuali orang yang lebih tua," jawab Tasya yang ternyata mendengar gumaman Gavin.

"Kamu kenal banget sepertinya dengan Tammy."

"Aku sudah terlalu sering melihat wajah dia, sampai aku bosan. Dari SD yang aku lihat selalu wajah dia. Entah mengapa kami selalu memilih tempat pendidikan yang sama. Dan sialnya di ruang yang sama."

"Berarti kamu tahu kenapa dia sependiam itu?" Gavin tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya lebih banyak.

"Siapa yang tahu? Sejak awal sekolah dia sudah seperti itu. Setiap orang yang mencoba berteman dengannya berujung dengan mengatai dirinya. Dia itu tidak punya nurani. Apa salahnya dia senyum, meski tidak ingin bertema? Cukup sebagai balasan mengenal.Nyatanya, jangankan tersenyum, menoleh pun tidak. Mungkin masa lalunya mengenaskan."

"Masa lalunya?" tanya Gavin dengan alis yang tertaut.

"Mungkin. Karena setahuku dia tidak memiliki orang tua. Dia hidup bersama kakaknya. Kurasa kamu pasti mengenal kakaknya. Dia pembawa berita terkenal. Jennie Clemira."

Gavin menunjukkan ekpresi keterkejutan. "Kamu yakin itu kakaknya? Sepertinya dia masih terlihat muda untuk menjadi kakak Tammy."

"Banyak memang yang tidak percaya. Begitulah faktanya. Wajah kak Jennie tidak berubah seiring usia bertambah. Bahkan ia semakin cantik."

"Tapi sepertinya kamu mengetahui banyak hal tentang dia."

"Karena kami tinggal di lingkungan yang sama. Kenapa, sih, dari tadi nanya dia terus? Kamu lagi makan sama aku," keluh Tasya tidak suka dengan pertanyaan Gavin yang hanya ingin cari tahu tentang Tammy.

"Aku tidak makan. Hanya menemani kamu. Dan sekarang aku harus mencari dia."

"Gavin ...."

Gavin segera bangkit mencari Tammy, meninggalkan Tasya yang kesal karena diabaikan. Gavin sempat-sempatnya mengambil sebungkus roti milik Tasya untuk diberikan kepada Tammy.

"Mungkin saja dia belum makan," pikirnya.

Tidak butuh waktu lama baginya mengetahui keberadaan Tammy. Peristiwa pagi tadi memberinya petunjuk yang jelas. Bagi orang yang memiliki kepribadian seperti Tammy, tidak akan banyak tempat yang suka untuk dikunjungi. Ia akan menetap pada tempat-tempat yang memberinya rasa nyaman tersendiri.

Ia melihat perempuan itu sedang terduduk, dengan pensil yang menari indah di atas kertas. Tarikannya pasti, gerakannya gesit, tanpa keraguan padanya. Seorang gadis kecil dengan kuncir di kepalanya sedang terduduk lemas di rerumputan. Begitulah kira-kira gambar yang terlihat di atas kertas.

"Lucu."

Tammy tersentak mendengar ada suara di belakangnya. Siapa yang begitu mudahnya mendatangi dirinya saat jam makan siang? Tidak ada yang pernah berani untuk menganggunya saat sendiri.

Tammy menatap Gavin yang tersenyum ke arahnya, menampakkan sederet gigi putih bersihnya. Tidak ada rasa bersalah dari lelaki itu, yang ada hanyalah kebahagiaan. Tammy memasukkan kertas dan pensil ke dalam tas serta pergi dari tempat itu. Ia tidak suka jika ada orang lain di sampingnya, mengganggu waktunya.

"Ini untuk kamu." Gavin menyodorkan roti yang diambilnya tadi.

Tammy tidak peduli. Ia teruskan langkah tanpa berniat untuk berhenti. Meski akhirnya terhenti karena lelaki itu berada tepat di depannya.

Mata mereka beradu. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Matanya jelas mengatakan untuk segera enyah dari hadapannya. Akan tetapi, mata di hadapannya memilih untuk bertahan di sana, tanpa niat untuk menuruti keinginannya. Mata itu masih tidak berkedip, bertahan dalam tatapan, tanpa lelah.

Gavin mengalah, mengambil langkah mundur, dan membuka ransel milik Tammy untuk menaruh roti itu di sana. Tammy segera meninggalkannya, tidak mau berlama-lama dengan pengganggu baru itu.

***

"Kamu menemukannya?"

Suara itu menyapa setibanya ia di kafe milik Abby.

Gavin merupakan seorang gitaris dari band kecilnya yang dibentuk sewaktu SMA. Mereka beranggotakan Abby sang vokalis dan Willy sebagai penggebuk drum. Di antara mereka berdua, Willy adalah yang paling dekat dengannya. Willy mengetahui seluruh bagian hidupnya, karena mereka memang sudah dekat sejak masih duduk di bangku SD. Terlebih orang tua mereka juga sahabat dekat.

Willy sosok yang periang dan setia untuk membantu sahabatnya. Ia memilih jurusan hukum sebagai penentu masa depannya. Karena sedari kecil ia begitu berambisi untuk menjadi seorang pengacara yang dapat membela kaum tertindas.

Sedangkan Abby sejak lulus SMA sering disibukkan dengan bisnis orang tuanya yang bergerak di bidang kuliner. Orang tuanya ingin Abby melanjutkan usaha tersebut, sehingga ia dipaksa untuk melanjutkan kuliah di bidang manajemen bisnis.

Meski mereka bertiga melanjutkan pendidikan di bidang yang berbeda, hal itu tidak membuat mereka hilang koneksi satu sama lain. Mereka sering berkumpul di kafe milik Abby dan tampil di sana. Meskipun yang paling sering tampil untuk menghibur para pelanggan dengan musiknya adalah Gavin. Karena ia tidak hanya pandai bermain gitar, tetapi juga memiliki suara berat yang merdu.

"Aku baru pulang, masih lelah. Dan itu pertanyaan pertamamu?"

"Bukankah itu tujuanmu pindah, Gave?"

"Willy, akan lebih baik kamu suguhkan minuman segar untuk menyambut ceritaku."

"Lekas ceritakan padaku atau aku akan langsung menemuinya di belakangmu."

"Dia berubah, Wil," ucap Gavin sendu.

"Apa maksudmu?"

"Aku ragu apa yang aku temui itu memang dia. Aku masih kurang yakin."

"Kalau begitu kamu hanya perlu membuktikannya."

"Tidak semudah bicaramu. Butuh waktu untuk bisa mencerna semua."

"Gave, kamu harus hati-hati bertindak kali ini. Jika kak Kenzo tahu apa yang kamu lakukan, aku tidak jamin bisa menyelamatkanmu. Bahkan mungkin, nyawaku pun tidak bisa kuselamatkan."

Gavin membenarkan pernyataan Willy. Ia harus menyimpan baik-baik hal ini dari Kenzo. Kenzo tidak boleh mengetahui apa yang sedang dilakukannya. Ia tidak boleh membiarkan kejadian lalu terulang kembali, dan membuatnya kehilangan lagi.

S[talk]eRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang