Satu

1.8K 386 762
                                    

Kaki mungil itu berlari-lari kecil ingin segera tiba di tujuannya. Gadis kecil berumur enam tahun tertawa riang dengan boneka Mickey Mouse kecil di tangannya. Ia ingin segera menyapa orang tuanya yang baru saja tiba dari luar negeri. Ia begitu merindu. Rindu seorang anak kecil yang periang diakhiri dengan tatapan nanar. Ia melihat darah-darah tercampakkan di lantai rumah. Kakaknya yang berumur sepuluh tahun lebih tua segera menggendongnya dan melarikannya keluar tanpa membiarkan dirinya melihat apa yang terjadi.

Kring kring...

Bugh!

Tangannya tepat memukuli lonceng alarm. Mimpi itu muncul lagi. Sama seperti pagi biasanya. Mimpi itu terus berulang sejak setahun belakangan. Ia tahu itu memori lamanya. Tapi ia benci jika harus selalu memimpikannya. Karena meskipun ia tidak memimpikan hal tersebut, ia akan tetap mengingat kejadian pahit itu, meski tidak semuanya. Lalu untuk apa mimpi itu terus hadir? Tidak ada gunanya!

Ia segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berkemas. Ia mengambil beberapa buku yang dianggapnya penting dan memasukkannya ke dalam ransel. Tidak seperti kebanyakan perempuan yang akan mengisi tasnya dengan peralatan make up, baginya itu tidaklah penting. Ia tidak suka mempercantik diri yang akan dipertontonkan di depan orang ramai, bahkan ia tidak mengenal bahan-bahan itu. Sepertinya ia memang tidak pernah menggunakan bedak. Wajahnya alami seperti itu.

"Kamu akan pergi sepagi ini?" tanya Jennie, kakaknya, seraya menatap jam di dinding yang masih menunjukkan pukul enam pagi.

Ia hanya mengangguk pelan tanpa suara. Tangan kanannya meraih roti yang sudah disediakan Jennie dan tangan kirinya meraih segelas susu yang masih hangat. Jennie tahu bahwa adik semata wayangnya ini akan keluar rumah pagi sekali, tanpa mengetahui alasan yang pasti. Aktivitas ini dilakukan adiknya sejak akhir masa SMA, dua tahun lalu. Entah apa yang diperbuat adiknya pagi-pagi begini. Ia pun tidak pernah menanyakan alasannya lagi setelah tidak ada jawaban pada pertanyaan pertamanya dahulu.

"Bagaimana kuliahmu?"

"Lancar," jawabnya singkat.

"Adakah hal yang mengganggumu? Atau sesuatu yang menyulitkanmu?"

Tatapannya yang sedari tadi melihat roti, kini fokus pada kakaknya.

"Sepertinya kita harus menyiapkan satu tempat bermain."

Jennie mengerutkan kening, tidak mengerti.

"Kedatangan kedua anakmu ke kamarku, sungguh mengganggu."

"Oh, maafkan mereka. Kakak sudah berulang kali menegur mereka agar tidak bermain di kamarmu." Jennie pun tidak lupa membela dirinya dengan mengatakan, "Tapi, setelah mereka bermain, Kakak selalu membersihkan dan membereskan kembali kamarmu."

"Tapi Kakak tidak menaruh barang-barang pada tempatnya semula."

"Kamu tahu Kakak tidak memiliki ingatan yang baik sepertimu."

Hal itu benar adanya. Jennie sering kali kelimpungan ketika mengatur benda-benda milik adiknya. Ia tahu adiknya seorang yang sangat menjaga kebersihan dan kerapian. Sedikit saja barang miliknya bergeser, ia akan menyadarinya.

Tammy beranjak dari duduknya, mengambil sepatu kets dan langsung pergi. Ini sudah waktunya.

"Tammy." Panggilan itu menghentikannya.

"Hiduplah dengan baik. Berinteraksilah dengan sekelilingmu. Dan tersenyumlah."

Ia hanya menatap datar, tidak tahu bagaimana harus merespons kalimat itu. Entah embusan arah mana tiba-tiba kakaknya memberi petuah demikian sepagi ini, tidak biasanya. Biarlah. Mungkin semalam kakaknya kebanyakan membaca buku motivasi.

S[talk]eRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang