Lima : Zaki

781 198 69
                                    

2017 akhir.

"Pulang? Rumah saya disini."

"Pulang Zaki.. Pulang ke rumah..  Umi rindu sama Zaki.."

"Ntarlah, kalau saya sudah sukses seperti keinginan Abah."

Dan telpon ditutup.

Dua puluh tahun saya hidup, baru kali ini saya diucapkan selamat ulang tahun oleh kedua orang tua saya.

"Kak, terakhir saya pulang, rotan melayang di punggung saya. Bisa jamin hal itu tidak terulang lagi?"

"Zaki, Umi sampai sakit mikirin kamu. Zaki pulang ya? Kakak jemput nanti."

"Gak usahlah, Kak. Kalau Zaki mau, Zaki pulang. Bilang sama Umi untuk gak khawatirin Zaki. Makasih."

Jujur aja, 20 tahun saya menetap di rumah tersebut, lebih terasa kekeluargaannya di indekos yang baru saya tempati 2 tahun belakangan.

"Emosi bener bosku.. Siapatuu?" Sebuah suara mengalihkan atensi saya. Ceria ternyata.

"Kakak saya, Ci."

"Ohh." Jawabnya singkat.

Kala itu Rumah masih sepi. Kembali pada rutinitas hari Minggu, hanya tersisa saya, Ceria, dan Tawa.

"Saya boleh cerita gak, Ci?"

Air muka Ceria tampak canggung. Ini memang pertama kalinya dalam dua tahun, saya memberanikan diri untuk mengungkap kisah hidup saya ke orang lain.

"Cerita aja sini, Jek. Mumpung Tawa belum ngomel minta perhatian." Kata perempuan manis itu.

Saya memulai kisah saya semasa kecil, tumbuh dan besar di keluarga yang sangat religius dan menjunjung tinggi nilai agama. Sejak SD saya sudah harus mengenyam pendidikan di boarding school, jauh dari pelukan Umi dan Abah.

"Kamu tahu apa yang saya dapat disana?"

Suara saya melemah, tatapan kosong kedepan, melanjutkan kenangan pahit yang berulang kali saya coba lupakan.

"Saya dicabuli oleh kakak kelas saya sewaktu saya masih duduk di bangku kelas 5 SD."

Saya merasa bersalah sudah bercerita seperti itu. Saya merasa bersalah sudah membuat Ceria menangis.

"Kamu... kenapa gak bilang sama k-kepala sekolahnya...?" Lirihnya, sambil menggenggam tangan saya penuh kehangatan.

"Kamu kira hal seperti itu jarang terjadi? Di sekolah saya, hal itu lumrah terjadi. Abah dan Umi pun tak mungkin semudah itu percaya dengan omongan anak kecil bandel seperti saya yang menolak untuk disekolahkan di tempat seperti itu."

Di dunia SMP pun saya menemukan hal-hal diluar dugaan. Melihat teman sekamar saya bermesraan padahal mereka sesama lelaki, bahkan ada yang berani membakar ganja di asrama dengan sembunyi.

Tempat itu bukan sekolah, melainkan penjara. Hari-hari saya disana pun sengsara. Tiada hari tanpa merindukan segarnya udara luar, indahnya kebebasan.

"Kamu kok diem aja sih?" Tanya Ceria, geram.

Saya tahu, hal itu pasti akan dilontarkan olehnya.

Rumah Kedua (Produce 101 alumn)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang