Tiga : Lala

1K 211 73
                                    

2016

Pengarahan Ospek.

"Lala? Disini juga?"

Suara itu. Suara yang membangunkan gue dari lamunan. Suara yang tiap hari jadi alarm gue, beberapa bulan yang lalu.

"Dani? Halo." Sapa gue ramah.

Anak itu masih lugu, masih polos, sepolos tingkahnya waktu dia ngajak gue kenalan di pesawat menuju Narita, beberapa bulan silam.

"Lala kemana aja? Kok nomor Lala hilang dari handphone Dani?"

Yang dia gak tau, sehari sebelum kita pisah, gue udah hapus semua kontak gue yang ada di hp-nya. Berharap suatu hari takdir gak akan mempertemukan kita lagi.

Tapi ternyata, takdir sebenci itu sama gue.

"Oh iya? Handphone Dani rusak kali?" Kata gue, ngeles.

Emang dasar anak ini mau aja dibodohin. Kadang gue takut kalau dia sendirian dan disamperin preman, nanti dia mau aja lagi ngasih semua duitnya tanpa ada perlawaan.

Ini yang bikin gue takut ketemu dia lagi, gue takut gue nantinya bakal manfaatin anak ini buat hal-hal yang seharusnya gak dia lakuin.

Karena bodoh dan terlalu baik itu kayak gak ada tembok pembatasnya.

"Oh iya! Mungkin ya, La. By the way, Lala fakultas apa?" Tanya anak itu lagi.

"Multimedia dan Komunikasi."

Senyuman lebar terpampang di wajahnya, bikin kedua mata sipit itu semakin lenyap dari penglihatan. "Dani di Hukum! Sebelah fakultas Lala! Asikkk bisa main bareng dong!"

Anjrit! Kenapa harus sebelahan sih?

Tapi ya udahlah, percaya aja kalau semua ada maknanya. Mungkin emang Dani yang di deketin ke gue karena cuma Dani yang ngerti keadaan gue.

Karena sampe sekarang, gue belum punya temen di kampus tercinta ini.

Sebenernya ada yang mau berteman sama gue, cuma guenya aja yang gak mau. Gue terlalu menutup diri dari orang-orang sekitar. Gue takut ditinggalin lagi.

"Lala ngekos dimana?"

Gue diem. Sebenernya gue udah punya kosan, tapi gue gak suka suasananya. Gue gak tinggal di kos melainkan apartemen punya Oma gue.

Kamar sebelah suka gonta ganti cowok, mana berisik banget gatau etika.

"Aku belum ngekos."

"Wah! Lala mau ngekos sama Dani nggak?"

Anak polos itu kembali bertingkah.

"Di kosan cowok gitu? Gak lah, Dan." Jawab gue judes.

"Ehehe bukan, Lala. Kos Dani itu Kosan campur. Dua orang perempuan, lima orang laki-laki. Masih ada kamar kosong kok satu! Kalau Lala mau, nanti Dani kasih nomor Ibu kosnya."

Gue menimbang sebentar.

Mungkin dengan begini Dani bisa ngejagain gue. Karena cuma dia anak yang pernah liat gue di keadaan sehancur-hancurnya  dan tetep ada di samping gue.

Mungkin kalau gue gak mengeneralisir cowok, anak ini bisa jadi sahabat gue. Sahabat terbaik.

"Boleh. Lala mau ngeliat kosnya dulu boleh nggak?"

Dengan semangat anak itu mengangguk, "Yuk! Dani anterin!"

🇷​🇺​🇲​🇦​🇭​ 🇰​🇪​🇩​🇺​🇦​

Rumah Kedua (Produce 101 alumn)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang