Prolog

18 5 2
                                    

Sedari tadi dia terus memainkan bola basket. Memantul-mantulkannya lalu memasukkannya ke ring. Sudah hampir dua jam dia begitu. Keringat bahkan sudah membanjiri tubuhnya. Aku menghela napas seraya bertopang dagu menatapnya. Seakan terdengar, dia menghentikan permainannya dan menengok ke arahku.

"Bosan?" tanyanya singkat. Aku hanya membalasnya dengan deheman. Malas berbicara.

Dia lalu meletakkan bola basketnya ke tanah dan berjalan menghampiriku yang duduk di pinggir lapangan di bawah pohon. Napasnya ngos-ngosan. Aku bisa tahu bahkan dari jarak 300 meter. Terlalu lama dekat dengannya ternyata membuatku hapal segala tentang dia di luar kepala.

Dia duduk di sampingku. Aku pun menyodorkan minuman isotonik padanya. Dia langsung mengambilnya dan meneguknya cepat. Persis seperti orang yang terserang dehidrasi parah.

"Gue bosen liat lo main basket mulu," ucapku. Dia langsung berhenti minum dan melirik ke arahku.

"Mau denger cerita gue?" tawarnya. Aku mengernyit bingung. Tumbenan nih anak mau cerita, pikirku.

"Mau gak?" tanya lagi. Aku mengendikkan bahu dan berkata, "Boleh. Kalau itu bisa ngusir bosan gue, gue traktir lo ntar."

"Gue pegang omongan lo." Aku membalasnya dengan deheman singkat. Masih dengan tangan yang menopang dagu, aku memiringkan kepalaku menatapnya.

"Maybe ini cuman cerita klise semasa SMA yang bisa lo temuin di film-film romance manapun. Maybe kisah gue ini udah sering lo baca di tumpukan novel yang ada di rumah lo. Tapi buat gue, ini adalah kenangan paling manis sekaligus pahit yang paling sulit gue lupain," jelasnya panjang lebar. Aku mengangguk pelan.

"Well, let's see. Bisakah cerita lo ini ngusir rasa bosan gue atau justru bikin gue tambah bosan."

ChiandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang