4 - She's an Angel

16.4K 1K 8
                                    

Amara tersenyum hangat. Sangat hangat hingga Zealand merasakan dirinya meleleh. Jantungnya berdegup kencang dan perutnya terasa sangat geli. Cintanya pada Amara begitu besar dan ia tak sanggup jika Amara memutuskan untuk meninggalkannya kembali.

"Aku sudah memaafkan kamu. Bahkan sebelum kamu meminta maaf," ujar Amara lembut. Begitu lembut hingga terdengar menyakitkan di telinga Zealand. Ia merasa dirinya begitu jahat pada Amara selama ini. Padahal wanita yang ia cintai adalah seorang malaikat. Entah terbuat dari apa hati wanita itu. Yang jelas, Zealand ingin menjaga hatinya yang rapuh seorang diri untuk selamanya. Ia tak mau dan tak akan berbagi dengan pria lain termasuk Levi.

"Aku sangat menyesal," lirih Zealand. "Aku tak mau kehilanganmu. Tahun-tahun belakangan tanpamu ini terasa seperti neraka. Aku tidak mau.. tidak mau.."

Amara hanya terdiam. Tangannya membelai lembut rambut cokelat Zealand berusaha menenangkan meski dirinya pun tak bisa menjanjikan apa-apa. Karena sejujurnya, perasaan Amara kini tengah bimbang. 

---

Esoknya Amara sudah lebih membaik. Ia memang belum diperbolehkan pulang, tapi setidaknya ia sudah bisa keluar kamar untuk membunuh rasa bosannya yang kian lama kian membesar. Meski tentunya masih menggunakan kursi roda.

"Demi Tuhan, aku hanya pingsan karena obat biusmu! Kenapa mereka bertingkah seakan aku korban kecelakaan pesawat?!" protes Amara saat Zealand mendorong kursi rodanya menelusuri koridor rumah sakit.

"Aku yang meminta mereka, agar kau tetap menempel padaku," jawab Zealand.

"Cih! Kenapa pula kau membiusku kalau kau pada akhirnya membawaku ke rumah sakit?!"

"Maaf. Aku waktu itu begitu panik karena kau tidak bangun-bangun. Aku takut kau akan meninggalkanku lagi," Zealand mengelus kepalanya pelan.

Amara terdiam, mencari-cari getaran di hatinya yang biasanya terasa jika Zealand mengatakan sesuatu yang romantis. Tapi.. ia tak menemukannya. Getaran itu sudah tiada.

"Kita sampai." Kalimat Zealand membuat Amara tersadar mereka sudah tiba di depan kamar rawat inap temannya, Levi.

Dada Amara terasa sesak seperti kehilangan udara saat melihat tubuh tak berdaya Levi berbaring di ranjangnya dengan berbagai macam alat medis.

Air matanya turun saat ia mengingat kejadian beberapa tahun lalu, saat-saat pertama ia kembali ke Australia.

"Ara? Kaukah itu?" Levi yang baru saja akan berangkat kerja melihat tetangganya dengan heran.

Amara tersenyum lebar pada Levi. "Levi, ini aku!"

Pria itu langsung memeluk teman masa kecilnya dengan erat. "Wah, kau sangat berubah. Mana gadis kecil ompongku itu?"

Amara tergelak di pelukan Levi.

"Kau tampak rapi. Apa kau akan pergi bekerja?"

"Ah ya," Levi melirik jam tangannya, "aku harus pergi kerja dulu. Kita akan lanjutkan nanti makan malam, oke?"

"Makan malam bersama? Terdengar menyenangkan."

Levi mengetuk pintu rumahnya tepat pada pukul 6 sore. Pria itu tampak tampan di balutan kemeja putihnya. Ia tersenyum saat Amara membukakan pintu.

"Aku telah memasak daging steak tenderloin. Aku harap kau masih menyukainya," kata Amara sambil menuntun Levi ke ruang makannya.

"Kau benar. Lagipula, apapun yang kau masak, aku akan selalu menyukainya. Termasuk kue gosong yang waktu itu kau buat." Levi tergelak sementara Amara hanya tersenyum tipis menahan malu.

"Usiaku masih 13 saat itu. Jangan salahkan aku."

"Bahkan remaja 13 tahun sekarang bisa membuat kue lebih baik darimu," ledek Levi akhirnya membuat Amara tertawa.

Levi membeku melihat mata Amara. Meski bibir wanita itu tertarik, mata itu memancarkan sorotan kesedihan. Sesuatu telah terjadi di Amerika. Ia bisa merasakannya.

"Ara, apa Amerika baik-baik saja?"

Tawa Amara terhenti. Wanita itu tiba-tiba mengeluarkan air matanya. Ia pun menceritakan segala keluh kesahnya pada sang sahabat. Sementara itu, Levi hanya bisa menggeram menahan emosi sambil mendengarkan cerita Amara, satu-satunya gadis yang selalu ia cintai sejak dulu.

"Ara..," Levi memeluk tubuh Amara dengan erat, "aku sangat ingin membunuh pria itu karena telah menyakitimu. Tidak ada yang boleh menyakiti Amara-ku."

Amara mengernyitkan dahinya. "Levi..?"

"Ara, aku selalu menyayangimu. Lebih dari sebatas sahabat. Aku tahu, kau baru saja mengalami kisah cinta yang tragis. Tapi aku janji aku akan selalu menjagamu, dan aku akan membuktikan janjiku jika saja kau memberiku kesempatan. Aku mencintaimu, Amara. Tak pernah ada yang lain.

"Tiap hari aku selalu menunggumu kembali. Tapi yang kudapatkan hanya perbaharuan status di sosial mediamu. Kau tampak bahagia bersamanya. Jujur saja aku kecewa dan sedih. Tapi aku terlalu mencintaimu, hingga aku memilih untuk bertahan."

Levi melepas pelukannya dan menatap Amara dengan dalam. "Kau mau memberiku kesempatan?"

Amara membeku. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Di satu sisi, hatinya masih sakit atas perbuatan Zealand padanya. Di sisi lain, ada rasa hangat yang meliputinya saat Levi berada di dekatnya. Dan rasa hangat itu sudah hadir sejak lama. Tapi ia selalu berpikir perasaan tersebut adalah perasaan terlindungi adik oleh kakak.

"Beri aku waktu." Hanya itu jawaban Amara. Levi mengangguk dan menunggu. Hingga bertahun-tahun kemudian, mereka tak pernah membahas sekalipun mengenai permintaan Levi.

"Amara, Sayang, mengapa kau menangis?"

Amara menoleh pada Zealand dengan air mata yang masih meleleh di pipinya. "Maaf, Zealand, aku menyadari sesuatu."

Zealand tersenyum berharap, "Kau menyadari kau masih mencintaiku dan akan langsung kembali padaku, kan?"

Senyumannya luntur saat Amara menggelengkan kepalanya. "Aku mencintai Levi."

His Runaway BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang