Guncangan yang hebat membuat Mark terbangun. Suasana sekitar terlihat sangat gelap namun pijar lampu dari daerah yang lebih rendah terlihat begitu indah.
Mark mengangkat kepalanya yang tau-tau saja sudah bersandar di puncak kepala Eve, lalu menghela nafas ringan.
Eve tampak bergelung pada lengannya. Selimut gadis itu sudah melorot jatuh. Padahal udara di ketinggian terasa semakin menusuk. Tidak ingin mengganggu tidur Eve, Mark menyelimuti gadis itu menggunakan jaket yang ada di pangkuannya.
Lima belas menit kemudian mini bus berhenti. Mark membangunkan Eve yang masih tertidur.
"Dimana jaketmu?"
"Di dalam tas."
Mark menghela nafas malas. Menyodorkan jaketnya pada Evelyn sementara gadis itu hanya menunjukkan giginya yang rapih. Mereka berjalan menuju sebuah penginapan. Di sana, setiap orang mendapatkan satu kamar inap sederhana.
Mark membantu Eve meletakkan barang bawaannya. Lalu berjalan menuju pintu seberang. Kamar mereka saling berhadapan.
Malam itu terasa sangat hening. Hawa dingin yang menusuk, juga suara-suara hewan yang terdengar saling bersahutan merdu mengisi malam menemani Eve sebelum tidur.
Eve menatap langit-langit kamar, berpikir panjang tentang apa yang terjadi satu bulan belakangan dalam hidupnya.
Keesokan harinya, Eve terbangun pukul lima pagi. Tubuhnya terasa menggigil karena udara di sana sangat dingin, tidak berbeda jauh dengan Korea. Yang membuatnya berbeda adalah, tidak ada heater di Indonesia.
Gadis itu mendengar suara berisik dari kamar di depan, segera saja Eve menyisir rambut seadanya dan mengikatnya tinggi. Ia bertemu pandang dengan Mark saat mereka secara bersamaan membuka pintu.
"Kenapa bangun sepagi ini?"
"Dingin."
Mark menatap Eve yang bergelung dengan jaket orange tebal miliknya. Gadis itu melihat sekeliling mereka dan menatap Mark kembali.
"Kau sendiri, kenapa sudah keluar kamar?"
Mark mengedik. "Mencari udara segar."
Lelaki itu berjalan menuju pintu keluar diikuti Eve. Udara dingin segera masuk sesaat setelah Mark membuka pintu. Eve mundur, memeluk tubuhnya makin erat dalam jaket yang ia gunakan.
Namun segala hawa dingin menyerbak itu kemudian terlupakan saat Eve melihat cahaya matahari yang perlahan menunjukkan diri dari ujung langit. Mark berdiri di sebuah udakan dekat tebing pembatas menuju ladang pangan yang luas. Eve ikut berdiri disampingnya.
"Wow.."
Suara ringan Eve membawa Mark perpaling. Wajah mereka terasa beku tersapu angin pagi yang dingin. Rambut mereka beterbangan ringan, begitu pula dengan kain yang menempel di tubuh masing-masing.
Mark menyarungkan tangan pada kantung celana miliknya. Menutup mata. Merasakan alam lebih dekat. Menikmati kebebasan yang meraung-raung minta dipuaskan dalam benak.
"Sekarang aku mengerti."
Lalu Mark membuka mata, melihat Eve yang tengah berbicara dan ia tau itu tertuju pada dirinya meski Eve tidak berpaling.
"Apa?"
"Kenapa kau menyukai hobi seperti ini."
Mark mendengus. "Sudah kukatakan ini bukan hobi."
"Ah, ya. Mimpi, right? Memang apa bedanya?"
Mark terdiam untuk waktu yang cukup lama. Angin menghempas rambutnya, membuat wajah terasa semakin beku. Namun cahaya matahari yang perlahan terbit tumpang tindih terasa menghangatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Lakuna | Mark Lee
RomanceBerbaliklah, sayang. Ada mimpi lain yang belum kamu gapai.