*1

273 9 0
                                    

Raungan hewan-hewan kecil pengisi peraduan yang terasa begitu hampa. Di selingi
Angin sepoi-sepoi menerbangkan cahaya api yang tampak enggan untuk padam.

Bunyi tubrukan antara bilik dengan angin seakan menyorakkan agar berhenti dalam kebisuan ini. Sang dewi di tengah hitamnya peraduan seakan tak berniat memberikan cahayanya. Ia memilih membisu dan tak ada keinginan tuk mengakhiri.

Akhirnya terdengar pula suara itu walau hanya helaan nafas. Tindakan itu seakan menyiratkan sebuah kelelahan yang tak terkira, seakan-akan berada di ambang ke putusasaan.

“bagaimana ini? Aku tak tahu lagi rumor itu seakan memekakkan telingaku, membuat kepala ini hancur secara perlahan”. Ujar sosok yang tadi menghela nafas.

Seseorang yang duduk di seberang meja bundar itu menanggapi, “itu memang tidak boleh di biarkan bagaimana pun caranya hal itu jangan sampai terjadi di sini”.

Setelah percakapan singkat itu, gubuk yang berisikan 5 orang tentara itu kembali di selimuti oleh keheningan malam. Berbaur dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang mereka pikirkan namun, guratan wajah mereka tampak berbeda-beda, hanya satu yang sama di antara mereka yaitu sorot mata. Sorot mata yang menggambarkan ke tidak relaan.  

Pada akhirnya kelima orang tentara itu memilih meninggalkan gubuk reot ini berjalan di bawah naungan sang dewi bulan. Mengabaikan angin yang menusuk hingga tulang, tak menggetarkan langkah kaki yang menyusuri jalan setapak yang begitu terjal.

Sisi kanan dan kiri jalan ini terhias akan hamparan perkebunan yang ditumbuhi tanaman yang menjulang tinggi sehingga dari sisi kanan dan kiri tak kan tampak jika ada manusia di dalamnya. Namun, suara langkah kaki yang sesekali menginjak dedaunan kering menjadi penanda bahwa ada makhluk lain di sini selain binatang melata.

Di ujung jalan sana terdapat sebuah tebing yang tinggi dan curam. Jika di lewati dengan hanya memanjat akan di pastikan dalam hitungan detik orang itu akan jatuh kembali. Namun, tidak bagi lima orang itu mereka telah membuat sebuah jalan rahasia.

Jalan yang sengaja di tutupi semak belukar yang terdapat di tengah-tengah bukit. Jika semak-semak itu di singkirkan maka akan tampak  sebuah bongkahan tanang yang retak membentuk setengah lingkaran namun sedikit lonjong dengan tinggi kurang lebih 2 meter dan lebar 1 meter.

Ketika retakan itu di dorong ke dalam akan terlihat sebuah jalan lurus yang membentuk seperti terowongan dengan berhias lampu damar di setiap langkah lima meter. Terowongan ini cukup panjang kurang lebih sekitar dua puluh lima meter dengan dinding-dindingnya yang terlihat rapi seperti bekas susunan kayu yang telah di lepas sehingga menampakkan lipatan-lipatan pada dinding dan atap jalan.

Selain jalan ini rahasia tidak ada satu hewan pun yang dapat masuk tanpa terkecuali hewan melata sekalipun, karena di ujung setiap jalan telah di beri herbal yang menyerbakkan  bau pengusir hewan melata. 

Setibanya di ujung lorong ini akan ada penutup jalan yang serupa dengan pintu masuk tadi jika di buka akan terpampang jelas pemukiman para penduduk serta ladang-ladang yang mereka miliki. Selain itu dari atas sini yang kebetulan adalah tempat di sebuah kaki gunung dapat melihat jelas pemandangan seluruh kota Bandung.

“lihatlah ! Jika waktu itu tiba kita akan datang ke sana, memberikan kesan manis seperti Sulawesi Selatan” ujar sosok tinggi tegap yang berpakaian ala tentara Belanda.

“baik kapten... tapi kapan itu terjadi?” tanya sosok yang terlihat paling kurus di antara kelima orang itu.

“secepatnya. Setelah kita berunding”. Jawab sang kapten dengan senyum yang sulit di artikan oleh orang yang melihatnya terkecuali orang-orang yang dekat dengannya dan memahami betul karakternya.

Sang mentari telah bangkit dari peraduannya, menyebarkan cahaya yang di milikinya sehingga memudahkan mata-mata itu untuk melihat dengan jelas jalan mana yang akan di lewati.

Semakin mendekat ke pemukiman warga semakin terlihat semua aktivitas warga di pagi hari. Sebelum mendekati pemukiman mereka telah mengganti baju tentara mereka dengan baju rakyat biasa.

Begitu ramai, itulah yang terlintas dalam benak mereka ketika menapakkan kaki di area pasar tradisional.
Suara-suara para pedagang yang memekakkan telinga di iringi ricuhan ibu-ibu menawar sayur, larian-larian kecil anak-anak, langkah seok-seok para peminta-minta dan tak luput pula gebrakan dari preman pasar.

Langkah kelima orang itu berhenti di sebuah kedai penjual aneka makanan. Terpampang dengan rapi berbagai jenis roti, berbagai macam olahan makanan tradisional seperti singkong rebus, keripik singkong, peuyeum, singkong goreng, roti singkong,  gethuk singkong dan berbagai macam lagi olahan dari ubi, jagung dan gandum.

Hanya beberapa makanan yang memikat hati mereka, terlebih lagi peuyeum mereka mampu memfermentasi menjadi minuman beralkohol yang bagi mereka begitu nikmat rasanya.
Setelah membeli beberapa macam makanan sebagai persediaan beberapa waktu ke depan mereka berjalan lagi meninggalkan pasar. 

“akan pergi ke mana kita kapten?” tanya si baju hitam sembari menengok sang kapten.

“yang jelas ke tempat yang aman, tempat yang akan menjadi markas baru kita, di sana kita akan menentukan bagaimana nasib kita berikutnya”. Jawab sang kapten dengan senyum simpul yang tercetak di bibirnya.

Tibalah mereka di sebuah rumah yang cukup besar dan kokoh dengan bangunan yang memiliki aksen kental Belanda tak luput pula di depan rumah terdapat sebuah bendera yang berkibar. Setelah mengetuk pintu tiga kali muncullah sosok di balik pintu itu yang memiliki perawakan tegap, mata tajam, warna kulit coklat tua dan rambut yang sedikit ikal hal itu menandakan bahwa ia pula seorang prajurit.

“akhirnya kalian sampai juga, mari masuk anggap saja rumah sendiri”. Ujar si pembuka pintu.

“terima kasih”. Jawab mereka berlima serempak.


Apa yang ada di dalam rumah itu cukup memukau, dengan cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah ventilasi udara, dapat mempermudah penglihatan mereka dalam mengetahui apa pun yang ada di ruangan utama. Satu set meja panjang dan kursi yang berjumlah sepuluh di tengah ruangan, bingkai foto keluarga yang melekat pada dinding, terdapat pula jam dinding besar di tembok dekat meja pertemuan. Tak luput pula beberapa senjata koleksi penghias ruangan dan untuk berjaga-jaga ada di pojok ruangan.

“ini minumnya dan mari silahkan duduk, sebelumnya perkenalkan nama saya Sandirga, saya juga KNIL sama seperti kalian dan kebetulan saya berteman cukup baik dengan kapten kalian Sang Ratu Adil” ucap Sandirga dengan senyum yang mengembang.

“ terima kasih, nama saya Van de Mettler saya keturunan Indonesia-Belanda dan kebetulan saya kaki tangan sang kapten”. Jawab si kulit putih pucat.

“ saya Rendra, di samping kiri saya Jamaika, dan samping kanan saya Turkim. Kami bertiga merupakan pribumi asli dan pasukan kapten yang masih selamat dari buronan pemerintah”. Ucap si baju hitam.

Setellah perkenalan itu suasana yang terjadi cukup hening. Sebelum akhirnya Sandirga bertanya pada sang kapten.

“mohon maaf kapten, kalian berlima apakah ingin langsung istirahat terlebih dahulu ataukah ingin melakukan hal lain?”. Tanya Sandirga.

“ Kami ingin istirahat sebentar, nanti setelah istirahat akanku beri tahu rencana kita untuk mempertahankan negara ini”. Jawab sang kapten.

“ baik Kapten, di sebelah barat dari ruangan ini terdapat lima kamar kosong dan sekarang bisa kalian tempati”. Ujar Sandirga.

“ terima kasih”. Jawab mereka semua.

Lautan MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang