Guru konslet

190 32 28
                                    

Ini kisah hidup gue yang pertama. Gue? Iya gue, cowok yang ditakdirkan nulis tulisan ini. Nama gue, Neron Raikal. Panggil saja Raikal, biar enak gitu. Cowok tampan yang bakal buat kalian tergila-gila 2 abad dari sekarang.

Di sini, gue bakal cerita pengalaman buruk gue, yang mungkin bakal mengundang tawa dari yang denger.

Tapi gue nggak tahu. Kalau kalian ketawa, alhamdulillah.
Kalau kalian nggak ketawa, inalillah.

Oke, seperti judul (guru konslet), awal gue ketemu guru itu adalah ketika pelajaran seni budaya. Disini gue cukup bangga, karena nilai seni budaya gue selalu tertinggi di kelas. #MaafSongong

Guru ini masuk ke kelas gue dengan gestur tubuh yang menjijikkan. Kenapa? Karena dia cowok, dia cowok yang lagi ngibas rambutnya yang telah belepotan gatsby, itu apa namanya? Pomed?. (Gini ya ngetiknya?)

Awal masuk nggak ada masalah, dia orang baik, cuma agak bencong. Tapi, moment ngeselin ini mulai ketika dia jarang masuk. Eh cut bentar? Ini emang berkah sih bagi pelajar normal kayak gue, masalah sebenarnya dimulai dari sini.

12 Mei 2017.

Guru tersebut masuk dengan gestur tubuh biasanya. Menodai setiap mata yang melihat. Dengan eksen bicara yang bisa dibilang sok inggris. Dia berkata. "Semuanya hadir?"

"Dua orang nggak masuk pak, ini daftarnya." Ucap Riyani, sekretaris kelas. Tangannya menyodorkan absen untuk guru konslet ini.

Guru ini -sebut aja pak Bernat (bear)- mengambil absen tersebut menatapnya sebentar lalu mengembalikannya. Dia ngambil cuma buat lihat tanggal rupanya.

Lalu dia kembali mengabsen satu per satu. Riyani yang salah ngomong berkata. "HADIR BU!"

Dia teriak paling lantang pas namanya disebut.

Guru konslet ini tersenyum lalu mengagguk, dan disitu gue mulai merasakan hawa-hawa jahil dari temen gue aktif.

Setiap kali pak Bernat mengabsen, mereka pasti berkata. "Hadir bu!"

Pak bernat cuma tersenyum lalu tertawa sekilas. Oh ya, emang sekrup otaknya nggak bener dari sini berarti. Dari situ gue menarik kesimpulan pertama: cowok gila macam apa yang bahagia dibilang 'bu' padahal jelas-jelas dia bergender lain? Jadi, bisa dibilang pak Bernat ini nggak normal.

Rumor tersebar, hidup pak Bernat biasa aja. Cuma ... beberapa murid ya banyak sih, selalu tertawa terbahak-bahak saat dia lewat.

Masalahnya hidup gue yang tambah runyam, setiap kali jalan pulang bareng temen-temen gue, ada Ivan, Reno, Trisna dan lain-lain. Gue selalu tahan buat cerita ke mereka bahwa rumah pak Bernat itu ada di sebelah rumah gue. Pak Bernat ada disana setiap jam 2 siang, mengolesi rambutnya dengan gel rambut bermerk gatsby.

Semua itu berdasarkan percakapan di chat.

Reno: ada yang tahu rumahnya pak Bernat?
Gue: lu mau ngapain? Ngelamar?
Reno: nggak, tadi di rumah ada batako sisa. Kali aja gue bisa lempar ke mukanya.

Dan gue menegak liur gue, merasa satu orang temen gue udah benci banget sama pak Bernat. Alasannya sederhana: pak Bernat telah menjatuhkan harga diri seorang cowok.

***

Gue sebagai siswa yang cukup berprestasi, pastinya sangat patuh terhadap pak Bernat.

"Dia kalau nyuruh, nyuruhnya ga sampe kerja rodi, kok." Begitu kata gue, ya walau gue selalu mengharapkan duit biru dari sakunya, sih.

***

Pada suatu hari, di hari kelima UTS. Ada sebuah kejutan di soal. Pertanyaannya soal kunci gitar, dan gue adalah orang ter-goblok main gitar. Masalahnya bukan itu, masalahnya pak Bernat nggak pernah kasih materi soal itu secuil pun.

Dan umur pendek eh cut! ... umur panjang, pak Bernat datang ke kelas gue. Sekelas berteriak, menyambut guru tersebut mengabaikan pengawas yang menyiapkan rotannya.

Bunyi bersahut-sahutan.

"Pak! Materinya belum diajar!" Kata salah seorang pelajar realistis.

"Pak, soal kedua nggak jelas gambarnya!" Nah, kalau yang ini mah alasan doang.

"Pak, bapak ganteng deh! Minta jawaban dong!" Dan itu teriakan paling kampret sih. Itu teriakkan si Ivan rupanya.

Dengan kibasan rambut dan tangannya yang lentik khas Shizuka. Dia pun menatap kami santai. "Saya datang kesini bukan untuk itu."

Dan entah karena stress atau apa, gue yang biasanya paling diam. Akhirnya berdiri dari kursi seraya menatap guru gue itu. "Pak, kalau bapak udah ajar dan kami nggak paham. Itu wajar bapak bilang begitu. Tapi bapak belum ajarin kita soal itu pak!"

"Udah, bapak udah pernah ngajarin." Balas pak Bernat dengan pedenya. Nah itu bikin gue kesel banget sih, udah pede salah pula. Kalau dilihat lagi, dia masih muda tapi pikunnya melebihi kakek gue.

Saingan gue Metha, menimpali. "Belum pak, bapak nggak pernah ajarin."

Dengan wajah santai yang ngeselin tingkat akhirat, pak Bernat nunjuk gue. Lalu menyeringai. "Kelihatan banget, kan? Murid jenis kayak begini yang jelas banget nggak belajar."

Disitu gue shock banget, mengingat kejadian kemarin. Kegiatan gue kemarin nggak lebih dari, 10% makan, 20% shalat, dan 70% belajar.

Gue langsung duduk, nggak pengen berdebat lagi dengan seorang yang otaknya dah lama banget konslet, kan bego banget kalau debat dia.
Dalam hati gue bergumam. 'Dia pikir dari subuh ampe maghrib gue ngapain? Ternak lele?'

Keesokan harinya, ada isu bahwa guru itu bakal kena masalah. Alasannya, dia menghilangkan catatan sekelas dan kepsek tahu soal itu. Pertama gue bersyukur karena dia dapat masalah, tapi disisi lain, gue berteriak histeris mengingat catatan gue yang paling lengkap.

Hari berikutnya, guru tersebut masuk ke kelas. Lalu entah sudah menjadi rencana atau apa? Satu kelas seketika batuk seolah telah terjangkit penyakit saat pak Bernat melangkah masuk. Dan tentu saja itu cuma akting, biar pak Bernat melangkah keluar. Dan benar dia keluar.

Semester dua, pak Bernat diganti. Dengan pak Jamal yang lebih waras. Setidaknya.

Satu hal yang gue pelajari dari hal ini. Gue nggak akan pernah jadi guru yang speciesnya kayak dia.

***
Makasih udah baca ya gaes.
Jangan lupa votenya.
Salam

HestekKisahAbsurdPelajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang