The Beginning of All Difficulties

856 22 18
                                    


"Umi bangga nggak sama aku?" tanya Bella kepada sang Ibu ketika mereka berjalan bersama menuju pintu Assembly Hall, Jakarta Convention Center itu.

"Bangga, dong," jawab Ibunya.

"Karena aku bisa lulus pas empat tahun?" tanya lagi Bella dengan rasa penasaran.

"Karena kamu adalah kamu, sayang." Senyum sang Ibu untuk meyakinkan pertanyaan sang anak.

"Abi bangga juga nggak, ya?"

"Pasti dong. Tuh, buktinya Abi datang ke wisuda kamu." Sang Ibu menunjuk Ayahnya yang berdiri tidak jauh dari mereka. Laki-laki itu berdiri membelakangi mereka. Ia sedang sibuk berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya.

"Iya." Bella tersenyum. "Aku seneng, deh. Tadinya, aku takut Abi nggak dateng. Dia kan, sibuk banget."

"Sesibuk apapun, Abi pasti datang. Dia kan, sayang banget sama kamu."

"Bell!"

Bella menoleh dengan cepat mendengar suara  yang memanggil namanya. Dia sudah yakin bahwa teman-temannya lah yang memanggil namanya dengan sebutan "Bell".

Dari kejauhan, dia melihat teman-temannya. Nazwa, Eka, Rani, dan Mytha menghampirinya. Mereka masih mengenakan toga.

"Bell, kita mau nginep di apartemen barunya Rani." Nazwa yang paling cerewet memulai percakapan. Dengan kedua tangannya, dia menggenggam tangan Bella.

"Ikut, yuk!" Ujar teman-temannya.

"Iya. Terus, ntar malem, kita dugem bareng di Embassy." Tambah Mytha. Dia memang paling hobi clubbing.

"Hm... Gimana, ya?" Bella bimbang. "Gue nggak bawa baju."

"Pinjem baju gue aja." Rani menawarkan. "Eka juga pinjem baju gue."

"Iya." Eka membenarkan. Kepalanya mengangguk-ngangguk penuh semangat.

"Ikut aja, Bella." sela sang Ibu, memberikan izin kepada Bella.

"Boleh, Umi?" Bella menatap Ibunya dengan tatapan penuh kegembiraan.

"Boleh." Ibu Bella menatap Bella dengan penuh kasih sayang. Putri tunggalnya itu memang sangat manja. "Tapi tidak usah pinjem baju, tidak enak sama Rani nya." Ibu Bella mengajukan syarat. "Beli sendiri aja. Belanja dulu, tidak apa-apa, kan?" Ibu Bella meminta persetujuan yang lain.

"Nggak pa-pa, Bun." jawab mereka dengan kompak.

"Kita malah seneng kok, Bun." Ujar Mytha.

"Apalagi, kalo kita di beliin juga." tambah Nazwa dengan diiringi tawa teman-temannya.

"Bella." Tiba-tiba, Ayah Bella sudah ada di antara mereka. Tangannya masih memegang telepon genggam di dekat telinga. "Abi harus balik ke kantor, ada masalah yang harus Abi beresin," katanya. "Makan-makannya besok aja ya?"

Tanpa sanggup dicegah, seberkas kekecewaan menyusup ke hatinya Bella. Ayahnya memang selalu menomor duakan dirinya. Bella mengangguk pelan menanggapi ucapan Ayahnya.

"Tapi, Bella mau nginep di apartemen Rani, Bi." Bella memberi tahu Ayahnya.

"Lho? Umi pulang sendirian?" Tanya Ayah dengan menatap wajah istrinya dengan cemas.

"Tidak apa-apa, Bi," jawab sang Ibu. Tangannya membelai halus lengan suaminya. Dia tersenyum meyakinkan.

"Ya, sudah." Ayah Bella tersenyum kepada istrinya. Lalu dia menatap Bella dan berkata. "Abi berangkat sekarang, ya? Kalian semua, selamat ya!"

"Makasih, Abi." Sahut mereka. "Hati-hati, Abi."

Ayah Bella melambaikan tangannya sambil berjalan menjauh.

The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang