"Ya, udah" Rani yang pertama kali menjawab. Dia masih bingung, tapi memutuskan untuk menuruti permintaan Bella. "Kita berempat bakal balik ke apartemen gue. Lo janji bakal SMS kita ya?"Bella mengangguk cepat.
"As soon as possible?"
Bella mengangguk lagi. Saat itu, mereka sudah tiba di meja resepsionis yang mereka hampiri tadi sesampainya di rumah sakit itu. Setelah meminta formulir rawat inap dari suster jaga yang duduk di sana, Bella menghampiri teman-temannya.
"Begitu gue dapet kamarnya, gue langsung SMS kalian. Janji!" Ujar Bella.
Nazwa mengangguk.
"Ya udah kita pulang, ya." Pamit Rani.
Satu per satu mereka memeluk Bella.
"Sabar ya, Bell."
"Kita pulang ya, Bell."
"Jangan lupa SMS!"
"Besok kita ke sini lagi."
Keempat gadis itu melambaikan tangan kepada Bella. Dengan berat hati, mereka melangkah menjauh dari hadapan Bella. Setelah teman-temannya tak terlihat lagi, Bella mulai mengisi formulir.
Nama : Ratu Consyna Puryono Diningrat.
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 17 Agustus 1970Tanpa di sadari, air mata Bella sudah mulai mengalir lagi. Dengan tangannya yang gemetar, Bella berusaha terus menulis huruf demi huruf di formulir itu. Hatinya memanggil-manggil nama sang Ibu berulang-ulang kali.
Setelah selesai, diserahkannya formulir itu kepada suster jaga. Sambil menunggu, Bella mencoba menelepon Ayahnya.
Tidak aktif. Bella ingat Ayahnya bilang mau kembali ke kantor.
"Apa Abi masih di kantor?" Pikir Bella.
Bella mencoba menelepon Ayahnya lagi. Kali ini ke nomor yang berbeda. Namun, lagi-lagi tidak aktif. Bella segera menelepon nomor yang terakhir, yang di khususkan untuk keluarga. Terdengar nada panggil. Dua kali. Tiga kali.
"Halo?" Terdengar suara berat Ayahnya.
"Abi?" Jawab Bella cepat.
"Kenapa, Bella?" Katanya. "Mau menginap di tempat Rani?"
"Abi!" Bella tercekak.
"Iya!?"
"Bella? Kenapa?". Suara Ayahnya mulai terdengar cemas.
"Abi..." Suara Bella menghilang lagi. Sungguh sulit bagi Bella memberitahu Ayahnya, apa yang sedang terjadi.
"Bella! Ada apa sih? Kamu bikin Abi cemas!"
Bella menarik nafas. "Umi di rumah sakit, Bi."
"Apa, sayang?" tanya sang Ayah yang masih belum percaya.
"Umi di rumah sakit." Jawab Bella sekali lagi dengan suara kecil, karena tidak sanggup untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Kenapa? asmanya kambuh lagi?"
Bella memejamkan matanya. Berharap sang Ibu memang sakit karena asmanya kambuh saja, bukan kecelakaan.
"Bella!" Suara Ayahnya terdengar semakin cemas.
Dengan berat hati, Bella melontarkan kata-katanya itu. "Umi kecelakaan, Bi!"
Lebih mudah baginya untuk mengucapkan kalimat itu dengan cepat.
...
...
"Bella, kamu tidak lagi becanda, kan?"
Bella mendengar keraguan bercampur kemarahan dalam suara Ayahnya.
"Nggak, Bi!" Suara Bella mulai bercampur isak tangisnya.
"Di Rumah Sakit, mana?"
Bella menyebutkan nama Rumah Sakit yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka.
"Abi sekarang ke sana, kamu tunggu di situ ya?"
Sambungan telepon telah terputus. Namun, Bella seakan-akan tidak menyadarinya. Dia membiarkan Handphone tetap menempel di telinganya.
Baru, setelah suster jaga memanggilnya, dia meletakkan kembali Handphonenya dalam tas kecil yang berwarna emas, sewarna dengan gaunnya.
"Mbak? bayar DP-nya cash atau card ?"
"Card"
Bella membuka tasnya lagi. Dari dalam tas itu, dia mengeluarkan kartu kredit yang segera diulurkannya kepada suster jaga.
"Silahkan, mbak."
Tidak sampai lima menit, suster jaga itu mengembalikan kartu kredit Bella.
"Kamarnya di lantai dua." Suster itu menunjuk satu arah dengan telunjuknya. "Keluar lift, belok kiri, masuk pintu, belok kanan. Paling ujung di sebelah kanan ada kamar. Nama kamarnya VIP, dengan nomor pintu 207. Pasiennya akan segera di bawa ke sana. Mbak tunggu saja di kamarnya."
"Terima kasih." Bella mengangguk sambil tersenyum lemah. Dia berjalan mengikuti petunjuk yang di berikan suster jaga. Dalam hati, Bella bersyukur keluarganya cukup berada sehingga Ibunya bisa mendapatkan pelayanan yang terbaik.
Bella berhenti di hadapan sebuah pintu bertuliskan "VIP 207" dengan warna tulisan emas yang memberi kesan, jika kamar tersebut spesial.
Di bukanya pintu. Bella tertegun mendapati apa yang di lihatnya. Kamar itu bersih dan luas. Di dalamnya ada sebuah tempat tidur, sebuah sofa besar, meja makan dan dua kursi, televisi, satu Air Conditioner, dan satu kipas angin, juga lemari es.
Bella tidak mengira kamar rumah sakit akan tampak seperti kamar hotel. Bella berusaha keras agar tidak terlalu cemas. Dia mencoba duduk tenang di sofa. Untuk membantunya mengatasi kegelesihannya.
Bella mengeluarkan Handphonenya dan mulai mengirim SMS kepada Ayah dan teman-temannya, untuk memberitahukan nomor kamar itu.
Bella baru mengembalikan Handphone ke dalam tas ketika pintu kamar terbuka. Dua orang perawat masuk dan mengucapkan selamat malam kepada Bella. Bella hanya sanggup tersenyum.
Tidak lama kemudian, dua orang perawat masuk dengan membawa brankar. Sang Ibu berbaring di atasnya. Bella hanya sanggup memandangi ketika perawat-perawat itu, memindahkan sang Ibu ke tempat tidur.
Mereka juga memasang infus dan kabel-kabel lain yang tidak di pahami Bella. Setelah selesai, tiga orang perawat keluar dengan mendorong brankar yang tadi mereka bawa masuk. Perawat yang seorang lagi, masih sibuk menulis-nulis di sebuah papan yang kemudian digantung di ujung bawah tempat tidur.
Perawat itu pamit pada Bella dan segera meninggalkan kamar. Setelah itu, barulah Bella bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Ibunya. Dia menarik sebuah kursi ke sisi tempat tidur sang Ibu.
Bella duduk sambil menatap wajah Ibuya. Baginya, Ibunya hanya tampak seperti sedang tidur. Di genggamnya tangan sang Ibu yang di pasangi jarum infus. Dibelainya berulang-ulang. Air mata mulai tergenang.
"Umi!" tanpa sadar, Bella memanggil Ibunya. "Bella nggak jadi nginep di Apartemen Rani. Bella di sini aja sama Umi. Kita tidur sama-sama. Besok pagi, kita bangun sama-sama."
Bella meletakkan kepalanya di sisi sang Ibu. Dia terus membelai tangan sang Ibu sampai akhirnya ia jatuh tertidur.
Terimakasih, folks. Sudah membaca karya saya sampai chapter ketiga ini. Saya harap kalian semua, suka dengan cerita yang saya buat. Next, jangan lupa READ chapter yang keempat nya, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil
RomantizmAdakah Iblis yang menyukai aroma kayu manis??? Ya, mungkin sebagian manusia menyukai aroma-aroma dari kayu manis, tapi tak di sangka bukan hanya manusia saja yang menyukai itu, Iblis pun menyukai kayu manis. Lho, kok bisa? Apakah benar hal tersebut...