"Hah? Terus gimana, dong?" tanya Bella putus asa."Tenang, Bell." Nazwa menepuk punggung Bella pelan, memberinya kekuatan. "Kita cari ke UGD, yuk?"
Kelima gadis itu lalu berlari lagi menyusuri lorong-lorong di rumah sakit. Tanpa berhenti berlari, mereka memasuki sebuah pintu dengan papan kecil bertuliskan Unit Gawat Darurat di atasnya.
Berbeda dengan bagian-bagian rumah sakit lain yang sunyi, UGD tampak begitu sibuk. Beberapa orang berpakaian suster maupun dokter berlari ke sana kemari. Beberapa orang perawat mendorong brankar dengan pasien yang berdarah-darah.
Air mata yang sudah membasahi mata Bella semakin membanjir. Dia dan ke empat temannya berdiri di sana dengan bingung. Tidak tahu harus bertanya apa dan kepada siapa.
"Maaf" sapa seorang laki-laki berpakaian dokter. Laki-laki itu kira-kira seusia dengan ayahnya Bella. Dia bertanya kepada mereka "Ada yang bisa saya bantu?"
"Umi" ucap Bella lirih di sela tangisnya.
"Ratu Consyna Purnama Diningrat," Rani mengambil alih.
"Puryono, Rani bukan Purnama" ucap Nazwa memperbaiki nama Ibu nya Bella yang benar.
"Iya maksud aku itu. Tadi, kecelakaan. Terus katanya di bawa ke sini. Tapi belum terdaftar di resepsionis." jawab Rani dengan ucapan yang cepat.
"Pukul berapa masuknya?" Tanya dokter itu lagi.
"Nggak tau, kita justru dapet telepon dari rumah sakit ini."
"Tunggu sebentar." Dokter itu menghilang ke ruang UGD yang terbatas untuk pengunjung. Tidak sampai lima menit, dokter itu keluar dari pintu yang sama. Di pandanginya ke lima gadis berpakaian pesta itu dengan kening berkerut. "Apa kalian semua anaknya?" Tanya nya.
"Bukan, cuma Bella aja anaknya." Rani menepuk bahu Bella pelan. "Kita teman nya."
"Oke." Dokter itu menatap Bella. "Bella, boleh kita berbicara sebentar?"
Bella mengangguk. Bibirnya gemetar, kakinya gemetar, seluruh tubuhnya gemetar. Bella hanya bisa menurut, ketika dokter itu membimbingnya menjauh dari teman-temannya.
"Bella." Kata dokter itu pelan. "Umi kamu... saat ini dalam keadaan kritis. Kami menduga benturan di kepalanya sangat keras. Selain itu, dia juga kehilangan banyak darah. Untuk sementara, kami hanya bisa membuat diagnosis sejauh itu.
"Kritis?" tanya Bella lirih.
"Ya saat ini, dia dalam keadaan koma. Kami akan memindahkan Umi kamu ke ruang ICU. Tapi sebelum itu, kamu harus mengurus administrasinya dulu. Oh ya, kami belum bisa menghubungi ayah kamu. Kamu bisa menghubunginya?"
Bella mengangguk.
"Boleh saya minta tolong?" tanya dokter itu lagi.
Bella mengangguk lagi. "Sopir bunda kamu. Kami tidak bisa menghubungi keluarganya. Apakah kamu bisa menghubungi keluarganya?"
"Pak Ricat?" tiba-tiba Bella ingat, Uminya bukan satu-satunya orang yang di dalam mobil itu. "Dia gimana, dok?"
"Menurut orang-orang yang menolong mereka, sopir itu meninggal seketika."
Bella terdiam. Di matanya, terbayang wajah istri Pak Ricat dan anak-anak mereka. Apa yang harus Bella katakan kepada keluarga mereka?
"Kamu bisa membantu menghubungi keluarganya?"
"Bilang apa?" tanya Bella dengan ekspresi termenung.
"Hm" Dokter itu senyum mengerti. "Kalau kamu bisa memberikan nomor yang bisa di hubungi, pihak rumah sakit akan memberi tahu keluarganya."
Bella hanya sanggup mengangguk lagi.
"Ya, sudah. Kamu mau melihat Umi kamu?"
Bella mengangguk cepat.
"Sebentar saja ya? lalu kamu harus urus administrasinya supaya Umi kamu bisa cepat di pindahkan."
Bella mengangguk setuju. Dia bergegas mengikuti dokter itu masuk keruangan UGD.
Ruangan itu besar dan penuh sekat-sekat. Bau obat steril tercium tajam. Terdengar rintihan, keluhan, bahkan jeritan dari dalam sekat-sekat yang tertutup. Suster-suster berlari ke sana kemari. Membawa baskom, penuh dengan kapas yang banyak darah. Senampan botol-botol obat. Setumpuk perban. Bella bergidik jijik melihat benda-benda itu.
Bella menyadari dokter yang berjalan di depan nya berhenti. Dia melihat, dokter itu menunjuk sebuah sekat yang tertutup. Dengan perasaan ragu bercampur takut dan cemas, Bella melangkah ke dalam.
Dilihatnya seorang perempuan yang terbaring di tempat tidur, kepalanya terbalut perban. Wajahnya yang penuh goresan terlihat sangat pucat. Benarkah itu Uminya? Bella ragu.
Kedua mata perempuan itu terpejam. Namun, bibirnya terlengkung seakan-akan tersenyum. Tak tertahankan, air mata Bella merebak.
"Umi!" panggilnya lirih. "Umi... bangun, ini Bella!"
Bella meraih tangan sang Umi. Menggenggamnya erat. Berharap Uminya akan kesakitan, lalu membuka mata. Akan tetapi kedua mata itu tetap terpejam.
Bella menyerah. Dia Menangis dalam Diam. Suara-suara kesibukan di ruang UGD masih terdengar. Namun, suara-suara itu tidak mengusik Bella, terasa begitu jauh baginya.
Bella mencium tangan Uminya, lalu pipinya. Di letakkannya tangan itu di sisi tubuh Uminya, lalu melangkah keluar dari sekat. Dokter yang tadi sudah tidak ada. Bella melangkah keluar dari ruang UGD, menuju ruang tunggu. Setibanya di sana, Bella langsung duduk di kursi. Tanpa bicara apa-apa. Keempat temannya yang sejak tadi menunggu, menghampiri mengerumuninya.
"Bell?"
"Gimana, Bell?"
"Umi lo nggak pa-pa?"
Bella menarik nafas. "Umi gue, koma." Katanya pelan.
Suaranya bergetar, air matanya mengalir pelan ke pipinya, lalu menetes ke gaun emas nya, meninggalkan titik gelap.
Keempat temannya terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
Ada jari-jari yang menggenggam jari-jari Bella, Ada tangan yang membelai punggungnya, Ada yang membelai rambutnya. Tapi Bella tidak bisa membedakan tangan siapa yang coba menabahkannya. Dia hanya diam terpaku.
Tiba-tiba, Bella bangkit. Dia menghapus air matanya. Masih tanpa berkata apa-apa, dia mulai berjalan. Teman-temannya mengikuti dari belakang.
"Kalian pulang aja." Kata Bella tanpa memandang teman-temannya. "Gue mau ngurus administrasi dulu di depan."
"Kita temenin ya, Bell?" Ucap Nazwah sebagai perwakilan dari ke tiga temannya.
"Nggak usah." Jawab Bella.
"Tapi, Bell?"
"Nggak pa-pa." Bella menatap wajah keempat teman-temannya satu per satu sambil memaksakan diri tersenyum. "Mungkin, besok gue bakalan butuh kalian banget. Jadi, sekarang kalian pulang aja. Besok pagi, ke sini lagi. Nanti gue SMS nomor kamarnya."
Sejenak, keempat temannya terdiam. Mereka ingin menemani Bella di saat yang berat ini. Mereka tidak mengerti mengapa Bella tidak mau teman-temannya menemaninya.
Okay folks, sampai di sini dulu ceritanya.
But, jangan lupa juga vote and comment nya :) . Terimakasih.
Swipe Up☝️
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil
RomanceAdakah Iblis yang menyukai aroma kayu manis??? Ya, mungkin sebagian manusia menyukai aroma-aroma dari kayu manis, tapi tak di sangka bukan hanya manusia saja yang menyukai itu, Iblis pun menyukai kayu manis. Lho, kok bisa? Apakah benar hal tersebut...