2. Setibanya di Bali
"Hal pertama yang aku ingat tentangmu, adalah matamu. Indah, tapi aku tak tahu apa warna bola matamu itu. Iya. Karna pepatah 'aku menyukaimu yang bahkan warna bola matanya pun aku tak tahu,' berlaku padaku."
****
Terakhir kali Raya bermimpi, ia ingat betul. Ia sedang duduk di sebuah taman, tangannya memegang ice cream, bibirnya tersenyum sembari sibuk menjilati ice creamnya. Lalu di sampingnya, duduk pria paruh baya yang juga tersenyum menatap putri kecilnya ini menikmati ice creamnya.
Raya menoleh. Menatap wajah ayahnya yang kuyu. "Ayah, nanti kalau Raya gede, Raya pingin liburan."
Ayahnya menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa harus nunggu gede?"
"Biar Raya bisa beli jajan yang banyak karna Raya punya uang sendiri,"
Lalu, realitanya begitu. Celoteh Raya kecil benar-benar terjadi. Hanya saja, yang Raya ekspetasikan dulu adalah liburan keluarga. Bersama kedua orang tua dan adik satu-satunya yang Raya miliki. Berbelanja bersama di sebuah kios yang tak terlalu besar. Berjalan bergandengan tangan menyusuri kota malam itu. Menikmati jajanan pasar yang menjadi ciri khas dari kota tersebut.
Ekspektasinya tak seperti realita. Ia pergi liburan tanpa direncana, tanpa keluarganya, tanpa cukup uang. Malahan, ia terjebak bersama pria bernama mengaku bernama Arya di Bali. Sungguh. Raya tak pernah memimpikan hal ini.
Setelah sampai di Bandara Ngurah Rai, Raya langsung pergi. Tak peduli Arya yang sibuk menerima telepon dari bundanya yang sedang khawatir apakah anak semata wayangnya itu selamat sampai tujuan atau tidak.
Raya juga sebenarnya tidak tahu harus kemana, karna sekali lagi, dia baru pertama kali ke tempat yang disebut bandara ini. Saat ia celingukan sembari berjalan pelan, tangannya digenggam oleh Arya. Raya menoleh, melihat Arya yang sudah penuh keringat sambil menghembuskan napasnya dengan gusar.
"Kenapa, sih, suka ninggal mulu," tanya Arya, masih menggenggam tangan Raya.
Raya diam. Mengingat tangannya yang masih digenggam oleh cowok di hadapannya ini, membuatnya tak bisa berucap apa-apa. Rasanya hangat. Ia tak pernah merasa seperti ini.
"Eh, maaf," ucap Arya, sembari melepaskan genggamannya. "Lagian, kamu tahu dimana Hotelnya?"
Raya menggeleng polos.
"Makanya, jangan tinggalin. Yuk, cari taksi,"
"Ar...," suara lirih Raya membuat Arya yang tadinya akan segera menenteng tas ranselnya, jadi diam. Ia menatap mata Raya yang berbeda dengan sebelum mereka sampai di sini. "Gue pingin liat senja,"
Sejenak, Arya terkesiap mendengarnya. Senja yang malah tidak ia tahu apa indahnya itu, kini ia dibujuk oleh perempuan yang baru dikenalnya beberapa jam lalu untuk melihatnya. Arya penyair, tapi ia tidak tahu bagaimana cara menikmati senja tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanta
Teen Fiction/kan.ta/ (n) Batas. Namanya Dafina Araya Barsha. Gadis cuek yang ternyata pemenang lomba menulis cerpen tingkat Provinsi. Hadiahnya lumayan. Ia berkesempatan untuk liburan ke Bali bersama pemenang menulis puisi. Maka, perjalanan Raya pun dimulai. T...