-
-
Butiran air hujan masih betah jatuh membasahi kota Jakarta. Tetesannya membasahi jalanan aspal, kendaraan-kendaraan yang lewat di depan sekolah, dan beberapa penjual jajanan yang sore itu ikut berteduh di dalam halte, yang berjarak kurang dari 10 meter dari gerbang sekolah.
Salah satunya Bening, gadis yang juga menjadi salah satu dari enam orang makhluk dalam halte. Kemeja putih dan rambut sebahu setengah basah miliknya terus ia kibas, walaupun tidak yakin akan kering dengan cepat. Andai saja tidak tergesa keluar kelas, mungkin ia akan menunggu dengan nyaman di dalam hingga hujan reda.
Sambil memandangi motor matic-nya yang sudah kuyup di sebelah gerobak penjual telur gulung, Bening menjulurkan tangan ke bawah atap halte dan membiarkan tangannya basah oleh air hujan. Tetesan air yang mengenai kulit terasa menyenangkan.
"Bagi ceban dong?!"
Spontan, kepala Bening menoleh ke kiri saat mendengar suara berat dari arah pojok halte. Bibir Bening berdecak malas. Lagi-lagi preman terminal sebelah.
Letak sekolah Bening hanya berjarak kurang dari satu kilometer dari terminal bis antarkota dan bisa dibilang punya akses strategis, apalagi bagi siswa yang tinggal jauh dari sekolah dan harus menggunakan transportasi umum. Namun, negatifnya preman-preman terminal sering kali ikut melipir dan dengan sok jagoan ikut menjarah anak-anak SMA.
Dulu, katanya, Pak Subandi—Satpam sekolah Bakti Pertiwi—sempat membuat operasi rahasia dengan beberapa satpam sekolah sebelah. Akan tetapi, itu hanya berhasil tenang selama tiga bulan. Setelah itu, para preman kadang kala kumat dan sering mencari mangsa anak SMA di sekitar terminal. Meskipun, harus bermain kucing-kucingan dengan Pak Subandi.
Seperti sore ini. Gara-gara hujan, Pak Subandi atau yang biasa dipanggil si Kumis, pasti masih sedang asyik mengopi di dalam pos satpam.
"Tapi uang saya cuma tinggal goceng, Bang, buat ongkos."
Preman berbadan gempal, berkulit cokelat, dan mengenakan denim kumal dari atas sampai bawah itu agaknya tidak percaya. Sambil terkikik sumbang, salah satu preman yang berambut acak-acakan dan terlihat paling dekil, maju menjepit tubuh cowok itu.
"Bokis dipelihara. Anak SMA sini kan anak gedongan semua, masa ceban aja kagak ada? Pelit amat lo."
"Ayolah, Boy. Bagi ceban buat nyebat kenapa, sih?"
"Enggak ada, Bang. Serius, deh," ucap cowok dengan label angka romawi sepuluh serupa dengan Bening pada bahunya itu. Tatapannya kini mengitari halte, memohon pertolongan.
Bening meringis, kemudian ikut melirik enam orang lain di dalam halte yang mendadak tuli dan sok sibuk dengan kegiatan masing-masing. Bening menjadi gemas sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SUDAH TERBIT] Mimpi Sebesar Gajah
Teen Fiction[MIMPI] . Bagi Bening, Hanya ada dua T di dunianya, Teater dan Togi. Bagi Togi, Hidup tak ubahnya ranting pohon kering nan kurus yang terbawa arus. Kamu tahu? Sedari dulu, manusia adalah makhluk yang hidup di dua alam. Hidup dalam ambisi diri sendir...