Cahaya & Bunga

31 0 0
                                    

Hari semakin malam. Di luar hujan deras. Suara rintik hujan terdengar nyaring berjatuhan. Butiran demi butiran derasnya hujan saling menembus permukaan jendela kamar yang kian buram. Sesekali cahaya kilat menyambar memekakkan kedua telinga.

Kedua mataku terasa berat untuk di buka. Sedangkan napasku sudah terasa baik. Aku tidak merasakan sesak lagi. Namun, rasa pusing masih terasa di kepalaku. Aku memberanikan diri untuk membuka mata.

Perlahan langit-langit kamar mulai terlihat. Awalnya buram hingga lama kelamaan terlihat jelas. Sunyi sekaligus senyap. Aku hanya sendirian. Terbaring di atas kasur tak berdaya.
Aku berada di rumah sakit.

Kedua sudut mataku tertuju,pada sebuah bayangan putih di sebelah kanan.

Seseorang tengah terduduk di lantai. Di atas karpet kecil. Ia lalu menengok ke arah kanan dan kiri. Setelah itu,ia menengadahkan kepalanya sembari mengangkat kedua tangan. Dia berdoa. Tak lama kemudian,dia berdiri. Lalu berbalik,menyadariku yang kini tengah menatapnya. Ia lalu bergegas mendekatiku.

"Kau sudah bangun?" Tanyanya cemas sekaligus senang.
"Kau..di..sini?" Tanyaku dengan suara parau.
"Iya. Aku disini. Tidak! Maksudku,aku dan kak Aluna." Sergahnya cepat.

Aku mencoba untuk terduduk.

"Hei,apa yang kau lakukan?" Dia bergegas menghampiriku.
"Aku tidak bisa jika terus terbaring." Kataku sambil menyimpan bantal di punggungku. Dia bergegas membantu.
"Terima kasih." Kataku pelan.
Aku menghela napas. Lalu memegang kepalaku. Meringis kesakitan.
"Kenapa? Kepalamu sakit?" Suaranya begitu terdengar cemas. Bahkan tangannya hampir saja menyentuh kepalaku. Namun,ia urung melakukan.
Aku tidak menjawab. Memilih untuk memejamkan kedua mata. Menahan rasa sakit di kepalaku.
"Hei,kau kenapa? Haruskah aku memanggil dokter lagi?"
"Jangan.."

Ia lalu meraih kursi. Lalu duduk di sisiku.
Aku membuka mata. Lalu tertawa pelan. Ia menatapku heran.
"Kau seorang dokter. Bagaimana bisa kau terlihat lebih cemas dariku?" Suaraku terdengar serak.
"Maka dari itu,dokter tidak akan bisa tenang sebelum pasien bisa sembuh kembali." Ia mendadak berdiri. Nada suaranya terdengar kesal.

"Dokter seharusnya meyakinkan pada pasien bahwa mereka akan baik-baik saja. Tapi nyatanya,kau lebih cemas dari pasien itu sendiri." Kataku sedikit mengejek. Masih dengan suara yang terdengar parau.
Ia tidak menjawab.
"Kau mencemaskanku?"
"Tentu saja. Tidak! Maksudku,semua dokter pasti mencemaskan pasiennya."
"Bohong!"
"Aku berkata jujur!" Dia menyangkalnya.
"A..ir..." Kataku serak.
"Apa?"
"Air."
"Kau mau minum?"
Aku mengangguk. Dia lalu meraih segelas air putih dari atas meja. Lantas memberikannya padaku. Aku bergegas meminumnya. Tanpa kuterima terlebih dahulu gelas itu. Ia terkejut. Bahkan hampir saja air itu tumpah.
"Terima kasih." Kataku pelan.
Ia lalu menyimpan kembali air itu.
"Maaf." Kataku merasa bersalah.
"Untuk apa?"
"Sudah membuatmu cemas."
"Sudja kubilang,aku tidak merasa cemas. Astaga,kau sungguh percaya diri." Dia menyangkalnya lagi.
"Tetap saja. Aku sudah merepotkanmu." Kataku masih dengan perasaan bersalah. Menatapnya.
Ia tidak menjawab.
"Aku tidak bisa menolak tawaran kak Aluna begitu saja. Aku akan merasa bersalah jika harus menolaknya." Aku setengah menunduk. Tak berani menatapnya. "Maaf..." Kataku sekali lagi.
"Sudahlah. Kau tidak perlu meminta maaf." Akhirnya ia menjawab. "Semuanya sudah terjadi. Kau tidak perlu merasa bersalah."
"Tetap saja,aku sudah membuat kalian panik. Aku juga tidak tahu,jika hal ini akan terjadi setelah sekian lama."
Ia beranjak. Dari kursi.
"Aku tidak suka jika ada seseorang yang dekat denganku,terluka begitu saja. Maka dari itu,kau tidak boleh terluka. Karena hal itu akan membuatku merasa bersalah." Ia berbicara pelan. Namun terdengar sungguh-sungguh.

Aku mendongak. Menatapnya. Sementara ia menunduk.

"Kenapa kau harus merasa bersalah? Ini murni kesalahanku. Karena aku tidak memberitahu kalian terlebih dahulu." Sergahku cepat.
"Tidak. Aku seharusnya mencegah hal buruk ini."
"Jangan berkata seperti itu! Mendengar hal ini membuatku takut saja." Aku memasang wajah sedih. Sembari mengerucutkan kedua bibir.

Lelaki Pengantar Rindu (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang