Rana mungkin memang belum bisa disebut muslimah sejati, tapi setidaknya ia menutup auratnya dengan baik.
---
"Selamat pagi, Ibu Peri."
Sapaan yang sengaja dimanis-maniskan itu menyambut Rana saat baru keluar dari unitnya. Kesibukan Rana mencari kunci di dalam tasnya terjeda. Gadis bekerudung biru itu mengangkat pandangan, menatap Bara yang sudah siap di atas motor matic-nya. Seperti biasa, ia hanya membalas dengan senyuman, lalu beralih menutup pintu unitnya dan menguncinya dengan baik.
"Kamu tidur, kan?" tanya Rana sambil melangkah mendekat.
"Ya iyalah. Aku bukan perangkat elektronik yang bisa beroperasi menggunakan tenaga surya."
"Yakin?"
"Soal tidur atau perangkat elektronik?" Bara pura-pura berlagak bego.
Rana hanya berdecak sambil geleng-geleng. Kemudian ia menarik tengkuk Bara, mendekatkannya ke kaca spion.
"Tuh, mata panda."
"Oh, ini salah satu ciri cogan yang dipatenkan belum lama ini."
"Di?"
"Di ...." Bara memutar bola mata sambil berpikir. "Di dunia kami. Duniaku bersama Luna."
Sepagi ini Rana sudah mendengar nama itu lagi, membuat semangat beraktivitas yang tadinya sudah terhimpun, terurai perlahan-lahan.
"Oh, terima kasih. Berkat Ibu Peri, aku punya ide cemerlang untuk novelku."
Rana mengernyit tidak paham.
"Aku akan menambahkan hal-hal ajaib yang hanya ada di dunia kami," imbuh Bara penuh semangat.
"Kamu nulis cerita fantasi, ya?"
"Bukan! Ini bukan cerita fantasi, tapi tentang aku dan Luna."
"Asal kamu bahagia, deh." Ekspresi di balik senyum Rana saat ini antara jengkel dan geli, membuat wajahnya sesaat tampak aneh. "Intinya sekarang, kita lagi ada di dunia nyata. Artinya, kita harus segera berangkat kalau nggak mau terlambat."
"Siap!" Bara sigap menstarter matic-nya.
***
Sudah terlampau sering Rana melalui momen seperti ini bersama Bara. Pertama kali Bara memberinya tumpangan, katanya sebagai bayaran karena sudah dipinjami setrika plus semprotan pelicin. Awalnya Rana menolak. Tapi karena kampus Bara dan toko bunga tempatnya bekerja kebetulan searah, sepertinya sama sekali tidak merepotkan. Rana nebeng atau tidak, Bara tetap akan melewati toko bunga itu. Rana bersyukur, berkat Bara sering memberikan tumpangan saat berangkat kerja—begitu pun saat pulang kalau kebetulan jamnya cocok—ia bisa lebih hemat. Jatah ongkos angkot ia tambahkan ke uang bulanan yang rutin ia kirim ke ibunya setiap bulan untuk keperluan sekolah adik-adiknya di kampung, juga untuk kebutuhan sehari-hari mereka.
Rana mungkin memang belum bisa disebut muslimah sejati, tapi setidaknya ia menutup auratnya dengan baik. Rana memang tidak menolak menjalin pertemanan dengan lawan jenis hingga sedemikian akrab, tapi ia sudah memasang garis tegas yang haram untuk dilanggar. Meski tidak bisa melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, wawasan Rana sangat terbuka untuk menerima hal-hal baru tanpa melupakan norma-norma agama yang dipelajarinya sejak kecil. Mungkin hal itu yang membuat Bara—yang rada gila—betah bersahabat dengannya.
Bara menghentikan laju motornya di pelataran Toko Sakura, toko bunga tempat Rana bekerja.
"Nanti sore kalau mau balik, kabari, ya! Siapa tahu aku masih di luar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Tak Pernah Kau Pandang
General FictionBertahun-tahun Rana bahagia diam-diam mencintai sahabatnya. Namun ketika sahabatnya itu menemukan perempuan yang dicintainya, hati Rana hancur luar biasa. Di saat yang bersamaan, datang lamaran dari lelaki lain, yang sangat memenuhi kriteria untuk d...