O6

798 108 26
                                    

C h a p O 6 .
-
p a n a s .
_____________

Aku berhenti di depan perpustakaan, berniat mengistirahatkan diri. Dengan serakah kuraup seluruh oksigen di sekitarku, napasku kini sungguh tak beraturan. Jantungku bahkan berdetak cepat karena takut ketahuan.

Aku tahu tidak seharusnya aku memedulikan urusan preman itu apalagi mengganggu privasinya seperti tadi. Tapi entah kenapa, aku seperti bukan diriku saat melihat park jihoon -manis maupun preman- kesulitan bahkan ketakutan seperti tadi atau semalam. Ada gejolak dari diriku yang membuatku berani bertindak. Aku tidak bisa melihat jihoon sakit, rasanya setengah dari diriku ikut sakit saat dia begitu. Ini berbeda dengan rasa iba atau simpati. Aku tak tahu apa itu, tapi yang jelas aku telah merasakan sesuatu yang aneh.

Sekarang, setelah mengatur napasku, aku berjalan cepat menuju klinik sekolah. Ada satu orang yang sangat perlu diobati.

Brak!

Dengan ribut pintu klinik terbuka, lalu dengan cepat aku menghampiri petugas klinik di sana. Petugas itu dengan asyik tengah merapikan jajaran obat-obatan yang berantakan dan menyusunnya kembali. Nama kwon eunbi tercetak jelas pada name tagnya, aku berdehem sejenak untuk mengambil alih atensinya.

“kak tolong datang ke ruang konseling segera! Ada seseorang yang harus diobati” dan perempuan yang tengah sibuk menata obat-obat itu pun menoleh dengan terkejut setelah mendengar intonasi suaraku yang terdengar panik. Dan akhirnya dengan terburu-buru dia mengekoriku berlari cepat menuju ruang konseling.

Saat kami tiba, ruang konseling bahkan kosong melompong. Hanya menyisakan kepingan kepingan kaca yang berhamburan di lantai. Juga terapat beberapa bercak darah di lantai sekitar tempat jihoon berlutut tadi.

“kau menipuku ya?! Mana hah?! Padahal aku sudah panik” penjaga klinik itu berseru kesal lalu beranjak untuk berbalik, tapi aku tahan.

“aku tidak bohong kak, aku serius! Lihat bercak darah itu? Itu buktinya!” aku bahkan berpikir dengan cepat ke mana jihoon pergi, jarak waktu dari aku memecahkan jendela sampai membawa kak eunbi kemari hanya berkisar sekitar 5 menit. Dan hey! Bagaimana caranya seseorang dengan luka cukup serius menghilang dengan cepat dari sini?!

“ah terserah! Tapi yang jelas aku tidak melihat bukti nyatanya!” perempuan itu berbalik dengan kesal meninggalkan aku sendirian di ruangan itu. Sabuk lelaki paruh baya itu bahkan masih tergeletak di bawah.

Aku berpikir dengan segera, ke mana park jihoon pergi secepat itu dari sini? Ada yang aneh di sini. Tidak mungkin park jihoon punya kekuatan teleportasi bukan?

Satu tempat muncul begitu saja di otakku, membuatku yakin bahwa tempat itu yang harus aku periksa sekarang.

Dengan segera aku melangkah cepat menuju sisi sekolah sebelah kiri, di samping sekolah sebelah sana terdapat pekarangan rumah yang sudah tak ditempati lagi. Biasanya geng preman itu berkumpul di sana.

Perlahan, aku mulai mengintip dari balik tembok pagar pembatas antara daerah sekolah dan pekarangan itu. Ada park jihoon di sana, terduduk di atas sofa tempat gengnya biasa nongkrong dengan seseorang di belakangnya yang sudah menyingkap bajunya, memperhatikan lamat-lamat punggung milik jihoon.

Itu sahabat karibnya, park woojin. Dia terlihat menghela napas dan menjilat salah satu giginya yang terlihat mencuat – pertanda bahwa ia tengah kesal.

Mataku membola saat melihat sebulir air mata yang jatuh, terjun bebas dari iris indah milik preman sekolahku. Woojin sedang mengobati lukanya dan aku yakin itu pasti sangat menyakitkan.

Aku dapat melihat dengan jelas bahwa kedua tangannya mencengkeram pinggiran sofa dengan kuat.

Nyuut

dualism  [panwink]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang