Dari matamu,
aku menemukan seberkas cahaya bintang yang belum pernah kutemui sebelumnya,
cahayanya berpendar amat terang,
dan nihil untuk padam.
Dari matamu pula,
aku menemukan air sungai yang mengalir dengan nestapa,
alirannya teramat pilu,
melebih...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Pakai jaketku."
Meara sontak menaikkan kedua alisnya saat ia merasakan bahwa jaket Sagara sudah singgah di atas pundaknya. Tanpa permisi, tanpa menunggu persetujuannya lebih dulu. Tingkat kepekaan Sagara memang tinggi, mengingat itu, Meara pun terkekeh.
"Kenapa harus pakai jaket kamu?" tanya Meara seakan-akan tak mengerti mengapa lelaki itu mau meminjamkan jaketnya. Keduanya melanjutkan perjalanan tanpa saling memandang, meski sedari tadi tak ada topik yang menarik untuk dibahas. Bintang dan bulan pun menjadi saksi bisu, turut terkekeh melihat tingkah keduanya.
Jalanan pukul sembilan malam pun semakin lengang. Para pedagang siap membereskan dagangan mereka untuk kembali dijual esok pagi. Suara jangkrik pun mendominasi, memecah hening yang sedari tadi tak kunjung mati.
Sagara berdecak, "yaudah, sini-sini. Balikin." Tangannya mulai bergerak untuk meraih jaket kesayangannya dari pundak Meara. Si pemilik pundak pun lantas menghindar karena enggan memberikan jaket yang bukan miliknya itu.
"Eh! Kamu ikhlas nggak, sih?" Meara memberengut. Sagara memutar bola matanya malas. Serba salah, batinnya. Baiklah, lelaki selalu salah dimata wanita.
Sagara menyelipkan kedua tapak tangannya pada celah saku celananya. Sejujurnya, ia pun tak kalah kedinginan dari Meara. Tetapi, tak mungkin pula jika ia harus membiarkan gadis malang itu kedinginan. Eh?
Lagipula, dirinya jauh lebih penting dibandingkan gadis itu. Ibunya pernah berkata, sebelum peduli terhadap orang lain, kau harus lebih dulu peduli terhadap dirimu sendiri. Lantas, mengapa ia begitu peduli kepada Meara? Dan ... atas dasar apa?
Sagara larut dalam hati serta pikirannya. Langkahnya pun semakin gesit, membuat Meara tertinggal di belakangnya. "Sagara! Ini jatohnya aku malah jadi kayak penguntit kamu! Jangan cepet-cepet, dong— akh!"
Tiada angin tiada hujan, tiba-tiba saja satu buah kerikil mendarat kuat tepat di kepalanya. Meara mengaduh kesakitan, telapak tangannya mengelus kepalanya yang tentu saja hanya satu-satunya, tidak kurang tidak lebih.
Sagara refleks menoleh, dilihatnya Meara yang berhenti karena tragedi terlempar kerikil entah siapa pelakunya. Meara melayangkan pandangan ke sekitar, mencari si pelaku yang tentu akan menjadi sasaran balas dendamnya. "Heh! Siapapun kamu, keluar! Aku nggak takut!"
Lelaki yang jaraknya sudah selebar tikar itu pun memutuskan untuk berbalik dan kembali menuju Meara dengan kondisi yang tak bisa dibiarkan. Sagara menarik lengan Meara, "nggak usah nantang, itu setan kali. Iseng mau nakut-nakutin kamu." Sagara berusaha melangkah, menuntut Meara untuk ikut dengannya. Namun, sang empu yang ditarik justru mempertahankan posisinya.
"A-apa?" Mendengar ucapan lelaki yang kini masih mencekik lengannya, nyali Meara pun menciut. Ia enggan menoleh ke arah sekitar karena takut sosok yang tak diinginkan menampakkan diri.
Bruk.
Tong sampah jatuh.
"AAAAAAKKKK!" Meara berteriak dan memejamkan matanya kuat-kuat. Oh, jangan kira bahwa Sagara tidak ketakutan, lelaki itu pun turut berteriak menyusul Meara karena refleks.
"Kamu ngomong sembarangan, sih! Jadi beneran ada, kan ..." Nafas Meara seolah tercekat, suaranya pun mengecil.
Dengan mata yang masih terpejam, Sagara pun berusaha mengintip meski takut. Samar-samar ia melihat dua bocah yang tengah berdiri di samping tong sampah yang sudah terjatuh. Sial.
Sagara pun lantas membuka kedua mata sepenuhnya. Dua bocah itu menahan tawa, membuat Sagara merasa kesal namun ia urungkan. Tidak baik rasanya jika ia harus membentak dua bocah yang tak mengerti apa-apa. Mungkin, tujuannya untuk bercanda saja. Namun bagi Sagara itu adalah hal yang berbahaya, bagaimana jika kerikil itu salah sasaran ke organ yang lain?
Derap langkah Sagara membuat Meara sontak membuka kedua matanya, berusaha ingin mencegah lelaki itu agar tak pergi meninggalkan dirinya yang sedang dirundung rasa takut. "Heh, Dek. Malem-malem ngapain masih main ketapel?"
Meara menaikkan kedua alisnya dan menoleh ke arah sumber suara. Tunggu, ketapel? Apa hal itu ada hubungannya dengan kerikil yang beberapa waktu lalu mengenai kepalanya? Tentu saja iya! Maka, tak perlu menunggu waktu lama pun Meara segera menghampiri kedua bocah itu. Amarahnya sudah berkobar dan siap membakar.
"Oh ... jadi kalian?!" sungut Meara. Belum sempat melontarkan sepatah kata, kedua bocah itu pun berlari untuk menghindari amukan Meara. Itu sangat menyeramkan. Mereka lebih memilh untuk mencari aman, ya ... dengan cara lari dari kenyataan.
Meara hendak berlari untuk mengejar keduanya. Namun, lagi-lagi Sagara menahan aksi gadis itu yang belum terlaksanakan. "Jangan sama-sama bocah kayak mereka, deh. Udah yuk, katanya tadi laper."
Mengingat janji Sagara yang akan membawanya menuju tempat makan, Meara pun menghapus niatnya untuk kejar-kejaran dengan kedua bocah yang sekarang entah kemana. Baiklah, memaafkan bukan hal yang buruk, kok. Lagipula, hanya terkena satu buah kerikil saja tidak akan membuat otaknya bergeser bahkan jungkir balik sekalipun. Tidak akan.
Keduanya kembali melakukan perjalanan bermodalkan langkah kaki. Sebenarnya, Sagara sudah menawarkan Meara untuk naik angkutan umum atau ojek, namun gadis itu menolak mentah-mentah. Sesederhana ini ia bisa menghabiskan waktu, menahannya agar tak segera melaju menuju esok pagi. Dengan ini, memori pun kian bertambah dan akan terasa begitu lama.
Malam, jangan berlalu, ya?
Mungkin itulah yang diucapkan oleh hati keduanya.
• • •
akhirnya update!😭😭
siapa yang rindu sama Sagara dan Meara, nih? Angkat ketek!
mohon maaf atas keterlambatannya, kawan. semoga kalian suka! Jangan lupa vote dan comment, okai?🖤
jangan maki aku karena sangat-sangat lambat update😥