Dari matamu,
aku menemukan seberkas cahaya bintang yang belum pernah kutemui sebelumnya,
cahayanya berpendar amat terang,
dan nihil untuk padam.
Dari matamu pula,
aku menemukan air sungai yang mengalir dengan nestapa,
alirannya teramat pilu,
melebih...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kisah Meara kini telah aman dalam rengkuhan Sagara. Meski tak sepenuhnya.
Dengan kalimat singkat perihal 'langit' pun Sagara sudah paham. Tak perlu menjelaskan lebih jauh lagi, Sagara sudah tahu betul bagaimana jalan kehidupan Meara sebelumnya. Hingga detik ini pun ia masih tak paham, mengapa Meara hadir menjadi pemeran baru dalam kisah hidupnya? Mungkin, ini adalah jalan baru yang belum pernah ia duga sebelumnya.
Dan, rasanya Meara adalah magnet yang selalu memikat perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Meara adalah gadis yang unik, meski ia tak paham latar belakang gadis itu seperti apa. Apakah semua yang Meara ceritakan adalah sungguhan? Atau bahkan ia mengada-ngada lalu setelahnya menipu Sagara? Rasanya tak mungkin. Meara tak seburuk itu. Pikirnya.
Melihat dua piring yang tak bersisa, Sagara menepuk jidatnya tak paham. "Badannya bagus, sih. Body goals lah. Tapi kok makannya bisa serakus itu? Rahasianya biar nggak cepet gemuk apa sih, Sis?" Lagi, tak ada bosannya Sagara mencibir Meara.
"Rahasia, ya, rahasia. Masa aku kasih tahu, sih! Kalau dikasih tahu, namanya bukan rahasia!" jawab Meara dengan ketus, namun tetap terkesan lucu.
"Eh, iya juga, ya?"
Meara menjulurkan lidahnya. Merasa menjadi pemenang di antara perbincangan keduanya. Akhirnya Meara unggul menghadapi lawan bicara semenyebalkan Sagara.
"Oh iya, sementara ini, kamu tinggal di rumahku, ya?" tawar Sagara, "gimana?"
Meara menghentikan kegiatan membersihkan sisa makanan pada bibirnya, ia bergerak pasif dan hendak menatap Sagara. "A-apa?"
Sagara terkekeh dan tersenyum miring. "Nggak usah khawatir, disana ada kakak tiriku, kok. Dia perempuan. Kamu bakalan ada teman disana," jelas Sagara mencoba meyakinkan gadis di hadapannya.
"Kakak tiri?" Meara mengernyit.
Bukannya menjawab, Sagara justru hanya tersenyum tipis dan lekas beranjak. Laki-laki itu menarik lengan Meara, mengajak dirinya untuk segera meninggalkan tempat ini karena sudah larut malam. Tidak baik rasanya jika malam kelam seperti ini Sagara mengajak seorang gadis yang bahkan bukan keluarganya sendiri- untuk berlama-lama disini.
Sebelum menyelesaikan langkahnya, tepat di ambang pintu Sagara berhenti sejenak. Ia menatap konstelasi bintang yang kini menggantung indah di atas langit. Meara menatap laki-laki di sampingnya dengan bingung. Memang, apapun yang dilakukan Sagara selalu menundang banyak tanya di otaknya. Penuh misteri.
"Sambil jalan, boleh aku cerita?" tanya Sagara tanpa melirik sedikitpun kearah Meara.
Meara mengangguk dan bergumam. "Hmm, silahkan."
"Kamu boleh ambil nyawa saya, tapi jangan sesekali kamu sentuh keluarga saya!"
Kalimat itu ... kalimat yang hingga kini masih menghantui isi kepala Sagara. Saat itu usia Sagara masih terbilang sangatlah muda, ia baru menginjak usia enam tahun. Hidupnya bisa dibilang sangat cukup dan terpenuhi. Namun, kepingan masalah yang mengusik kebahagiaan keluarganya selalu hadir tanpa henti memenuhi hari-harinya. Sungguh, jika saat itu Sagara dapat menentukan garis hidupnya sendiri, ia rela seluruh hartanya direnggut dan dapat hidup bahagia bersama keluarganya dengan damai.
Karena kebahagiaannya bukan bertumpu pada harta.
"Oh? Baiklah, tapi kamu harus ikuti keinginan saya!" pria berkepala tiga itu meninggikan nada bicaranya di hadapan ibu Sagara, dan juga kakaknya yang berusia sepuluh tahun- Bintang.
Erena-ibu Sagara- seketika mematung dengan tatapan kosongnya yang mengatakan bahwa tiada lagi harapan yang dapat ia temukan.
"Kamu juga harus mengikuti keinginan saya, Bara! Keluarkan suami saya dari penjara! Dia tidak bersalah!"
Lelaki bernama Bara pun tertawa penuh kemenangan, tawa yang terdengar menjijikan di telinga Erena.
"Ya, memang dia tidak bersalah," jawabnya tanpa dosa.
"Lalu atas dasar apa kamu memfitnah dia?" Erena bertanya dengan nada rendahnya, namun terdengar penuh penekanan. Amarah seolah telah berhasil memenuhi jiwa serta raganya.
"Waktu itu aku ngerasa kalau Tuhan bener-bener nggak adil sama keluargaku. Ya ... karena kehadiran sosok bajingan bernama Bara itu. Sialnya, sekarang dia jadi papa tiriku. Satu hal yang sampai kapanpun nggak bakalan aku terima," jelas Sagara di sela ceritanya. Meara terkejut.
"Loh? Ibumu?"
Sagara terkekeh miris. "Iya, sampai sekarang itu masih jadi rahasia yang ibu simpan rapat-rapat. Nggak ada satupun yang tahu kenapa ibu mau menikah dengan bajingan itu. Bahkan aku pun nggak tahu," Sagara berhenti sejenak, "asal kamu tahu, Me. Bara itu orang yang udah bikin ayah dan Kak Bintang pergi dari dunia ini."
Hening.
Meara menghentikan langkahnya, Sagara pun melakukan hal yang sama. Sepasang mata gadis itu bertemu dengan pasang mata yang lain- mata penuh pilu dan terlihat amat kelam dari biasanya.
•••
apak kalian terkejuDh saat tahu dibalik sosok Sagara yang secerah itu ternyata punya kisah hidup yang kelam? WKWKWK.
next jangan, nih?
selamat menikmati kisah The Answer alias Similaire dengan tampilan baru, hihi💛