"Dulu aku hampir bunuh diri." Sagara tersenyum hambar, memori kelamnya seketika berputar lagi di otaknya. Dadanya sesak. Teramat sesak saat ingatannya kembali menuju bayangan masa lalunya itu.
Tiba-tiba saja Sagara tersentak kaget saat mengingat bahwa hari ini ada jadwal pemotretan. Iris kopinya menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya itu dengan terkejut.
"Ah, aku harus buru-buru." Sagara lekas berbalik tanpa perlu menunggu jawaban Meara. Namun baru saja beberapa langkah ia tempuh, Meara sudah menghentikannya.
"Mau kemana?" tanya Meara dengan nada yang teramat halus. Terdengar seperti memohon agar pria itu tak segera pergi. Sagara berhenti, namun enggan berbalik untuk menatap gadis di belakangnya.
"Aku ada jadwal pemotretan, sudah telat lima belas menit," jelas Sagara. Melirik sekilas ke arah belakang.
"Pemotretan?"
Sagara mengangguk. "Ah, ya! Aku belum bilang." Sagara memutuskan untuk berbalik menatap Meara, namun pada tempat yang yang sama.
"Apa?" Meara mengerutkan dahinya heran.
"Aku seorang Fotografer, Me. Jadi maaf, ya? Aku nggak bisa nemenin kamu lebih lama lagi. Jadwalku padat." Sagara menatap Meara penuh penyesalan. Terlihat jelas dari iris cokelatnya itu, ada segelintir kekecewaan yang tersirat.
"Oh, ya. Rumahmu di mana? Mau kuantar?" tawar Sagara. Meara menggeleng.
"Aku nggak mau pulang," lirihnya.
"Lho, kenapa?"
"Baru sampai pagar yang ada aku sudah diusir!" Nada bicara Meara meninggi seketika. Membuat Sagara terlonjak kaget hingga matanya membulat.
Ah, Sagara mengerti.
Meara berbalik memunggungi Sagara, kembali menatap pasukan ombak yang kembali berderu. Ia melipat tangannya di depan dada. Kesal dan khawatir, keduanya berkecamuk begitu saja dalam benaknya.
Lagipula, atas dasar apa ia melarang Sagara untuk pergi? Toh, pekerjaan adalah prioritas utamanya. Sedangkan dia?
Hingga pada akhirnya, Meara dapat mengambil keputusan setelah otak dan hatinya bermufakat, tak ada salahnya jika ia membiarkan pria itu pergi.
"Yasudah, pergi saja."
"Lalu ka-"
"Aku bisa sendiri."
"Tidak, lelaki macam apa aku meninggalkan anak gadis di tepi pantai seperti ini?" Sagara melangkah mendekati Meara. Refleks, gadis itu menggeleng dan menghindar. Tatapannya seolah berkata tidak, jangan mendekat, tinggalkan saja aku. Sungguh, otaknya benar-benar penuh, Meara melangkah mundur ke belakang hingga kakinya hampir terkilir.
"Jangan mendekat, pergi saj-"
Sagara dengan sigap meraih tubuh Meara yang hampir terjatuh. Hingga tatapan mereka bertemu.
Salah satu di antara mereka tersadar akan peristiwa tadi. Refleks, Meara membenarkan posisinya dan mendorong tubuh Sagara menjauhi dirinya.
"Maaf."
"Maaf."
Keduanya terdiam tak bergeming. Hening. Tak ada satu pun yang mau angkat bicara. Suasana menjadi teramat canggung setelah peristiwa tak terduga tadi. Meara dapat melihat iras tampan pria itu teramat dekat- begitupun sebaliknya bagi Sagara.
"Yasudah, ayo, ikut aku."
"E-eh?"
Tiba-tiba saja sang cemeti dewa menggelegar di ruang cakrawala. Kelabu sudah mulai menampakkan diri untuk menyambut air yang menitik perlahan di atas tanah. Hujan renyai sebagai permulaan membuat fajar keok untuk terbit dan pada akhirnya memutuskan untuk pamit menuju rumah.
"Sudah hujan, ikut aku. Jangan keras kepala," titah Sagara.
﹌
Insiden hujan dini hari telah berlalu, hingga menyisakan genangan air hujan yang masih tertinggal di jalanan. Petrikor menguar menusuk indra penciuman. Menyejukkan hati.
Kedua insan itu senyap, larut dalam pikirannya masing-masing. Entah karena canggung atau memang bingung membangun sebuah topik.
Sesekali keduanya saling menatap melalui sudut netranya, terutama Meara- yang bingung harus melakukan apa selama perjalanan.
"Capek?" tanya Sagara, melirik sekilas lalu kembali menendang batu-batu berukuran sedang yang sekiranya menghalangi langkahnya.
Meara menggeleng.
Sagara mendengus sekilas, ia menatap ke arah sekelilingnya. "Sebentar lagi kita sampai."
"Lokasinya di mana, sih? Aku jadi penasaran, dari tadi nggak sampai-sampai," ujar Meara yang terdengar seperti mengeluh.
"Di sana," Sagara menunjuk ke arah perbukitan yang nampak hijau membentang, "apa? Mau gendong?"
Meara membulatkan matanya seraya bergidik ngeri, gadis itu spontan menggeleng membuat Sagara tertawa tertahan.
"Idih, gak, ya! Enak aja gendong-gendong,"
"Jalan aja dulu, nggak kerasa deh, pasti cepat sampai."
Hingga pada akhirnya, waktu telah berlalu tanpa perlu permisi. Tanpa disadari, tujuannya telah tampak di depan mata. Semilir angin membuat rambut hitam legam Meara tersapu hingga terbang namun tak lepas dari akarnya. Walau berkali-kali helai demi helai membuat pandangannya terganggu.
"Sagara!" Hingga suara seseorang di balik tenda membuat keduanya spontan menoleh.
"A-ah, Halo, Bung. Maaf aku terlambat." Sagara menghampiri pria tersebut, berpelukan akrab sebagai tanda sapaan.
"Basi, Gar! Bisa obesitas aku tiap hari makan kata-kata maafmu itu." Pria itu tertawa seraya melepas dekapannya dari Sagara. Menepuk bahu sobatnya karena gemas akan kebiasaannya yang suka tepat waktu.
Sadar akan keberadaan Meara di sampingnya yang nampak kebingungan seperti orang asing, Sagara tersenyum seraya kembali angkat bicara untuk memperkenalkan gadis di sampingnya.
"Oh iya, ini Meara," kenal Sagara. Meara tersenyum sopan.
"Angkasa." Pria yang ternyata bernama Angkasa itu mengulurkan tangannya untuk mengajak berkenalan. Ah, jangan lupakan juga senyuman tampannya.

Jung Hoseok as Angkasa.
"Dia- pacarmu?" Angkasa berbisik namun tatapannya enggan berpaling dari wajah cantik Meara yang seketika terkesan cuek.
"Enak saja!" Sagara melotot tak terima.
"Lalu siapa? Kakakmu? Adikmu? Atau?"
"Dia menculikku kesini," timpal Meara sekonyong-konyong, membuat kedua pria itu menatapnya dengan tatapan tak percaya.
﹌
KAMU SEDANG MEMBACA
the answer
Fiksi PenggemarDari matamu, aku menemukan seberkas cahaya bintang yang belum pernah kutemui sebelumnya, cahayanya berpendar amat terang, dan nihil untuk padam. Dari matamu pula, aku menemukan air sungai yang mengalir dengan nestapa, alirannya teramat pilu, melebih...