Dari matamu,
aku menemukan seberkas cahaya bintang yang belum pernah kutemui sebelumnya,
cahayanya berpendar amat terang,
dan nihil untuk padam.
Dari matamu pula,
aku menemukan air sungai yang mengalir dengan nestapa,
alirannya teramat pilu,
melebih...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepasang matanya kini menangkap eksistensi kafe bernuansa vintage— yang sudah tentu salah satu bagian dari kesukaan Sagara. Namun Meara? Ntahlah, ia tidak ingat kapan terakhir kali datang ke tempat seperti ini, atau mungkin benar-benar tak pernah sama sekali. Meara adalah tipikal gadis yang jarang keluar rumah, sunyi adalah teman terbaiknya.
“Duduk di sana, yuk,” ajak Sagara. Secara tak sadar atau benar-benar mengambil kesempatan, Sagara menggenggam erat jemari Meara. Sang empu yang merasa tersentuh pun refleks menghempaskan tangan lelaki itu.
“Eh? Pegang-pegang!” protesnya.
“Ya Tuhan ...” Sagara menggeleng, “kamu nggak pernah pegangan tangan sama laki-laki setampan aku, ya? Nggak usah gengsi gitu.”
Sumpah. Detik ini pula rasanya Meara ingin menenggelamkan sosok Sagara ke dasar laut. Kalau perlu tak usah kembali, Meara ikhlas sepenuh hati.
Eh? Tapi ia berhutang pada Sagara.
Melihat Meara yang tidak menimbulkan reaksi apapun, Sagara berdecak dan segera berlalu meninggalkan gadis itu. Ya, ujung-ujungnya Meara pun akan selalu mengikuti Sagara. Karena tujuannya hanya ada pada lelaki itu.
Keduanya pun lekas duduk di atas bangku kayu yang tetap memberikan kesan modern. Mata Meara tak pernah bosan melihat langit yang tetap setia memayungi hari-harinya, meski gelap, Meara tetap mencintai langit itu.
“Kayaknya langit lebih ganteng, ya?” cibir Sagara seraya terkekeh, ia tak mampu menahan tawanya. Menertawakan dirinya sendiri yang tingkat kepedeannya bisa setinggi ini saat bersama gadis itu. Bukan tanpa sebab, rasanya lucu saat melihat tingkah Meara yang sedang kesal.
“Hm.” Meara hanya menoleh sekilas, membuat raut wajah Sagara memudar seketika.
Sagara tak akan pernah membiarkan topik di antara keduanya habis begitu saja termakan oleh waktu. Ia akan terus berpikir keras hingga beberapa pertanyaan muncul untuk Meara. Sagara tahu bahwa ia bukan siapa-siapa, pun dirinya tak mengerti mengapa tempo hari malah menolong gadis itu yang selangkah hampir mati. Sok-sokan menceramahi. Padahal dahulu dirinya hampir serupa seperti itu.
“Ada apa dengan langit?” tanya Sagara yang Meara anggap sangat tiba-tiba. Gadis itu tersentak hingga pandangannya tertuju pada lawan bicaranya.
“N-nggak, bukan apa-apa,” jawabnya terbata.
Sagara bukan peramal atau siapapun itu yang bisa membaca pikiran seseorang. Namun ia yakin sepenuhnya bahwa Meara memang suka berbohong perihal perasaannya. Apa semua gadis seperti itu? Rasanya tidak. Gadis-gadis yang pernah ia kenali sebelumnya tak pernah setenang ini, meski di lain waktu Meara akan terlihat rempong dan membuat kepala Sagara terasa sakit.
“Mau jadi penerus Pinokio?” tanya Sagara, lagi. Namun Meara tak menggubris. Perasaan campur aduk ia lampiaskan pada jemarinya yang ia mainkan tak karuan.
“Yasudah, mungkin kamu masih ragu denganku.” Sagara tersenyum memaklumi. Mungkin memang bukan saatnya.
“Langit itu saksi terbaik yang mustahil mengungkap seluruh rahasia milik manusia di bawahnya, Sagara,” jelas Meara, nada bicaranya melemah.
“Maksudmu?” Sagara mengernyit tak paham.
“Dia adalah saksi berakhirnya kehidupan ayahku. Begitu pula saksi kematianku yang kenyataannya masih saja tertunda. Mungkin saat itu langit masih menyayangiku, mendorong hatimu agar mencegahku meski kita tak saling mengenal,” Meara kembali bersuara, “aku selalu menunggu nyawaku direnggut oleh semesta. Supaya aku nggak perlu lagi terbebani oleh masalah yang akan selalu ada sepanjang hidupku. Namun nyatanya, karenamu aku memiliki tujuan yang sesungguhnya.”
Sungguh, rasanya detik ini pula Sagara ingin membawa gadis itu dalam dekap hangatnya.
Meara mencoba tersenyum meski rasanya sukar untuk dilakukan dalam kondisi seperti ini. Namun nyatanya, air mata mendahului senyumannya.
Sagara pun segera mengulurkan telapak tangannya, membiarkan air mata Meara jatuh di atasnya. Dan disitulah ia mendekap Meara melalu air matanya.
“Sekali lagi air matamu menetes, beringin ini akan rapuh.”
—
yeeaaaayyy akhirnya update! *auto dikeroyok* WKAKAKAKAK.
maafkan Caca yang menghilang sangat lama dari aplikasi oren ini😭
sudah kembali, kan? ungkapan maaf terlontar lagi jika part ini terlalu pendek. next, aku bikin part yang lebih panjang lagi deh, hihi. tunggu aja, ya!
dan,
bagaiman kesan kalian saat menemukan Meara dan Sagara lagi dalam part ini?🖤