Tidak seperti kebanyakan kisah-kisah hebat di luar sana yang memulai ceritanya dari awal atau flashback supaya terkesan penuh arti, cerita ini akan dimulai dari bagian tengah, dimana seorang Lisana tiba-tiba muncul hanya dengan nama sebagai alasan agar pertanyaan itu tidak muncul lagi.
"Jadi Lisana adalah teman lama yang sekarang dekat denganmu?" Danar menanyakan itu seolah-olah tidak percaya bualan hebat dari seorang perekayasa kata profesional, ya, aku adalah seorang penulis.
"Ya, teman lama. Sewaktu SMP mungkin." Aku menjawab acuh sembari mengetik beberapa kata di laptop. Naskahnya harus selesai bulan ini supaya aku bisa bertemu editor secepatnya.
"Tapi sejak kalian dekat? Bukannya kau adalah orang yang selalu mengurung diri di rumah, kurang pergaulan, dan menghabiskan waktumu sendiri di kamar dengan naskah-naskah novel itu?"
"Iya, memang. Lalu?"
"Yaa, maksudku seharusnya kau tidak pernah dekat dengan siapapun karena aku tahu bahwa kau selalu menjaga jarak dengan semua perempuan di kampus ini tak terkecuali Laras. Percayalah kawan! Dia gadis yang baik."
Sepertinya perdebatan ini akan terus berlanjut meski aku menyumpal mulut danar dengan pisang goreng yang dijual Buk e di depan kontrakan. Aku harus bisa meyakinkan Danar!
Aku berhenti mengetikkan jari, menutup laptop, menatap mata Danar seperti adegan berusaha meyakinkan di sinetron.
"Laras memang gadis yang baik, mungkin aku termasuk satu dari satu juta laki-laki bodoh yang ada di pulau ini yang tidak mau dekat dan selalu menjaga jarak dengannya. Aku tahu dia sahabat baik Tyas, dan pasti Tyas juga yang memintamu supaya aku mau berkenalan dengan Laras, tapi cobalah kali ini dengarkan aku, bukan gadis spesialmu itu, Tyas. Toh belum tentu juga Laras mau berkenalan. Tyas saja yang terlalu berlebihan menanggapi vote pujian karya tulis fiksi itu."
Btw minggu lalu aku menang lomba karya tulis fiksi yang dilaksakan pihak kampus. Laras adalah salah seorang mengisi kolom komentar di naskah pemenang karena kebetulan dia ketua pelaksananya, dan kebetulan juga komentar pada vote itu Laras memujiku dengan kata-kata ingin mengenal penulis fiksi terbaik di kampus ini. Sayang, Tyas selalu melebih-lebihkan hal sepele seperti itu. Imbasnya ke Danar, sebagai pemyambung lidah Tyas agar aku segera berkenalan dengan Laras.
"Tyas pasti tahu kalau Laras menaruh hati padamu karena komentar di vote itu, mereka berdua sudah bersahabat sejak lama." Danar masih saja keras kepala meyakinkanku.
"Meski begitu aku sudah bilang bahwa aku juga sudah dekat dengan Lisana. Aku tidak mungkin mengacaukan kedekatanku dengan Lisana hanya dengan mengikuti kemauan Tyas supaya aku berkenalan dengan Laras, yang ujung-ujungnya kami akan dekat, dan Tyas memaksa lagi supaya aku menyatakan rasa suka yang dipaksakan itu padanya."
Tiba-tiba ayam jantan pak e berkokok semangat dari balik jendela kamar. Sepertinya hari minggu ini ayam jantan pak e kesiangan. Aku tidak mungkin salah, jam dinding kamarku sudah berada tepat di angka sembilan.
"Ya sudah." Tiba-tiba Danar mengehela napas. Aku langsung kembali menghadapkan wajah padanya. Ayam jantan pak e itu benar-benar menarik perhatian.
"Ya sudah? Apa?" Aku berekspresi bodoh supaya Danar cepat mengalah. Setidaknya itu sedikit ilmu psikologi yang kudapat saat seminar Mario Teguh kemarin, atau mungkin bukan. Aku sudah terlalu sering ikut seminar di kampus demi nasi kotak gratis di akhir minggu, jadi tidak bisa lagi membedakan materi seminar apa dan siapa.
"Mungkin kau benar. Tyas saja yang mungkin terlalu berlebihan. Selesaikan naskahmu cepat. Jika lewat minggu depan aku tidak bisa mengantarmu ke editor, si Moromese (Motor Rongsokan Merah Sekarat) harus masuk service lagi." Danar beranjak ke pintu keluar.
"Okee! Siap kapten!" Akhirnya Danar mengalah lebih cepat di luar perkiraan.
"Tapi..." Danar berbalik badan, tangannya sudah meraih gagang pintu kamar.
Persaanku tidak enak.
"Seharusnya aku tahu dua per tiga alur hidup dan kisah cintamu kawan, tapi Lisana? Mendengar namanya saja baru kali ini. Kau harus mengenalkanku dan Tyas pada Lisana supaya Tyas tidak lagi merengek, memintamu untuk berkenalan dengan Laras."
Dug! (Btw itu suara jantung lagi kaget)
"Ee.. iya, nanti tapi."
"Kapan?"
"Liburan semester."
"Kelamaan."
"Bulan depan"
"Minggu depan saja, sekalian aku mengantarmu bertemu editor, malamnya kita ketemu Tyas. Bye!" Danar selesai dan pintu pun tertutup.
Demi nasi kotak di setiap seminar akhir minggu, percayalah bahwa gadis bernama Lisana bukan sekedar tokoh novel, yang naskahnya sedang kurampungkan, tapi memang nama seorang gadis yang kusuka saat masih SMP. Antara menyesal dan tidak, aku menolak pemaksaan Tyas yang ingin aku berkenalan dengan Laras karena hanya memang malas saja dan tidak terlalu memikirkan hal-hal seperti itu.
Tapi mustahil mencari keberadaan Lisana untuk kubawa kehadapan Tyas dan Danar. Lisana, seseorang yang sudah tidak pernah lagi bertemu sejak lima tahun yang lalu. Aku memang pernah dekat dengan Lisana, tapi itu sudah lama sekali dan tidak ada kabar sampai sekarang. Jangankan nomor hp, instagramnya saja aku tidak tahu.
____________
Bogor, 11 Februari 2019