Aku merasa memberikan alasan penolakan yang konyol pada Danar. Entah mengapa aku harus memilih nama Lisana sebagai orang yang dekat denganku demi menolak untuk berkenalan dengan Laras. Mungkin karena benar aku sedang menuliskan nama itu pada naskah novel ketigaku, dan mungkin juga karena pertayaan Danar tersebut sangat mendesak sehingga aku tidak punya pilihan nama lain selain apa yang sedang aku pikirkan dan aku tulis di laptop.
Danar benar sekali, aku tidak pernah dekat dengan gadis mana pun di kampus. Bukan karena label jomblo akut yang beresonansi dengan sebutan abnormal (tidak normal). Percayalah kawan! Aku normal. Sangat sangat normal.
Sikap seperti ini aku pilih dan kupertahankan sejak lama. Persisnya sejak terkahir kali bertemu dengan Lisana. Sejak SMP, aku menyukainya, bahkan sampai sekarang pun rasa itu tetap sama, tapi aku tidak bisa memastikan hal yang sama juga berlaku baginya. Mungkin warna rasa dari kedekatan kami dulu sudah memudar olehnya. Kabarnya ia juga dekat dengan seseorang saat SMP. Entah sekedar kabar burung atau itu memang benar, aku tidak pernah tahu karena aku dan Lisana pun berbeda SMA setelah kelulusan SMP.
Waktu terus berlalu sejak saat itu. Mungkin ada yang bertanya seperti apa kedekatanku dengan Lisana dan seperti apa aku mengaguminya. Lisana sama seperti kebanyakan perempuan lain di permukaan bumi ini, ia bahkan tidak terlalu terkenal seperti para pentolan perempuan cantik di sekolah, hanya saja ada yang berbeda darinya. Seperti satu dari ratusan buah durian yang dijual di bantaran meja pasar, memang hampir sama, tapi rasa yang enak hanya diketahui saat kita mencobanya, biasanya si penjual akan membenamkan pisau ke dalam buah durian tersebut, lalu menariknya lagi untuk merasakan rasa yang sebenarnya dari sedikit isi durian yang terbawa pisau. Mungkin analogi ini terlalu berlebihan. Bukan karena malas menuliskam kisah ini, karena memang sulit untuk menemukan analogi yang sesuai untuk seseorang yang spesial seperti Lisana. Tentu saja, aku tidak akan menganalogikan tentangnya dengan sekuntum mawar merah ditaman, bintang di langit ke tujuh yang sebenarnya sudah tidak terlihat lagi.
"Dan, nanti kalau kamu balik dari kampus, bantu buk e beli terigu di mini market dulu ya." Buk e dengan lihainya membalik gorengan dengan wajah menghadapku. Sore ini aku ada kerja kelompok seperti biasa. Laporan tugas anak kuliahan.
"Tapi aku pulang agak malam buk e. Apa tidak masalah?"
"Buk e kan mau pake buat besok pagi, bukan hari ini."
Aku mengangguk paham. "Aku pergi dulu ya, buk e."
Salah satu mimpiku yang masih belum terwujud sampai saat ini adalah realisasi dari hari minggu sebagai hari libur. Memang bukan zaman sekolah lagi, tapi paling tidak aku ingin merasakan libur di hari minggu selama 24 jam supaya otakku tidak meleleh lebih cepat sebelum berusan dengan skripsi nanti.
Kembali pada kegiatan mengenang beberapa tahun lalu. Sesampainya di kampua aku selalu jadi yang pertama datang, dan menunggu sekitar satu jam sampai anggota kelompok yg lainnya muncul di titik pertemuan.
Analogi buah durian terdengar aneh memang, tapi filosofi di baliknya pasti membuat Taufiq Ismail sedikit tercengang. Hhaa, btw bagi yang belum tau Taufiq Ismail adalah seorang sastrawan nasional yang masih saja berkiprah sampai sekarang di usianya yang senja. Aku akan membahas Bapak Sastrawan ini nanti, sekarang fokus ke filosofi analogi buah durian di pasar.
Durian adalah buah yang tidak bisa ditebak dengan mudah karena sebagus apapun parasnya dari luar (seperti warna mengkilap dan duri-duri yang tersusun rapi mungkin) tetap saja isinya kadang berbanding terbalik. Pun dari segi aroma, penjual buah durian musiman tiap tahun pun harus mencolek sedikit isinya terlebih dahulu untuk meyakinkan pembeli karena mungkin sebenarnya dia juga ragu. Maka, seperti itulah aku mendefinisikan kekagumanku tentang Lisana. Dia tidak bisa ditebak dengan usaha coba-coba karena akan berakhir seperti penjual durian yang mencongkel setengah jualannya karena tidak yakin menentukan mana yang enak. Usaha mengenal Lisana memang butuh waktu, tapi sekali telah mengenalnya, itu ibarat membeli tiga durian dengan dua buah pertama hambar namun yang ketiga rasanya nikmat luar biasa. Lebay? Hhaa, ini memang agak berlebihan, tapi nikmati saja
Aku satu kelas dengan Lisana waktu SMP. Tidak ada yang istimewa sampai satu tahun kelas itu berakhir, Lisana menyatakan sebuah rasa untukku. Meski itu berlangsung di zaman dimana spesies monyet sering terzholimi karena nama mereka di sandingkan dengan kata cinta oleh manusia, tetap saja aku merasa gagal menjadi manusia berkromosom xy, tapi mau bagaimana lagi, dia duluan dan aku tidak dapat berkata apa-apa.
Aku melirik jam tangan, harusnya anak-anak satu kelompok itu sudah datang semua, tapi kami harus menunggu satu orang lagi yang kebetulan ketua kelompok untuk tugas ini.
Sembari menyalakan laptop, menghela napas karena kesal si ketua sangat terlambat, aku memutar ulang bagian terkahir memoriku di SMP bersama Lisana. Awalnya juga berpikiran bahwa itu cuma sekedar rasa di waktu SMP, buktinya kadang kita bertengkar karena masalah yang sepele, bahkan aku selalu tertawa karena mngingat hal-hal konyol itu, tapi realita berkata lain. Saat mendekati hari kelulusan, jarak di antara kami kian merenggang namun tidak terlalu jauh, hambar, seperti kebanyakan kisah-kisah anak SMP lainnya.
Saat itu aku memang masih SMP, tapi percayalah kawan bahwa isi kepalaku bisa disandingkan dengan beberpa pemikir idealis. Saat kelulusan aku membuat sebuah pernyataan pada Lisana. Aku tidak tahu apakah pernyataan itu yang lebih banyak benarnya atau salahnya, tapi yang pasti aku mengabarkan pada Lisana bahwa sebaiknya kita tidak harus terikat lagi, toh karena akan masuk SMA yang berbeda bahkan beda kota. Saat itu aku merasa paling benar karena menilai bahwa sekedar rasa di masa SMP pasti akan berpindah hati lagi ketika masing-masing dari kita berpindah ke lingkungan baru yang berbeda. Aku seharusnya tidak berpikir selogis dan sejauh itu, karena ternyata pernyataan itu membuat Lisana marah dan tidak pernah mengabariku lagi. Kasarnya aku baru mengerti kenapa ia marah beberala bulan setelah itu ketika salah seprang teman di SMA menjelaskan dengan rinci bahwa apa yang aku lakukan seperti pernyataan ketidakpercayaan terhadap Lisana yang pasti tidak akan mampu menjaga "sekedar rasa" tersebut setelah kelulusan. Setelah pencerahan itu, akhirnya aku tahu bahwa pernyataanku waktu itu lebih banyak salahnya daripada benarnya, meski aku mengganggap bahwa apa yang aku lakukan adalah benar dan sangat logis.
"Hei, maaf terlambat."
Akhirnya orang yang ditunggu pun tiba. Napasnya tersengal, sepertinya terburu-buru. Karena masih sedikit kesal, aku tidak menoleh sedikit pun padanya, tapi seketika telingaku berdiri tegap dan memaksa wajahku untuk segera menoleh ketika si ketua berkata. "Aku harus menjemput Laras dulu, dia yang bakal bantu kita ngerjain tugas ini."
Aku menatap lamat sesosok wajah di samping ketua itu. Aku tidak sempat lagi berpikir keras tentang penolakanku pada Danar dan Tyas, karena saat ini orang tersebut tengah berada di hadapanku. Laras?
______
Bogor, 13 Februari 2019