17

60.3K 4.4K 607
                                    





Demi berbaikan dengan Lolita, Erlan menyiapkan bingkisan cokelat yang dipeluk boneka beruang. Erlan memesan khusus karena tahu Lolita menyukai boneka beruang. Sembari menemani Kian yang tengah sibuk dengan secangkir cokelat hangat dan biskuit penuh chocochip, Erlan memesan bingkisan cokelat itu di kafe yang tengah dia singgahi saat ini.

"Silakan, ini bingkisannya Kak."

"Makasih." Erlan menerimanya dan tersenyum lebar. Dia yakin Lolita akan menyukainya.

"Buat cewek lo?"

"Ya," jawab Erlan canggung. Bagaimana tak canggung jika yang menanyakan adalah orang yang baru mengutarakan perasaan padanya?

Demi membeli cokelat untuk Lolita sekaligus menghibur Kian jadilah Erlan mengajak ikut serta Kian ke kafe Sweet Brown. Kafe cokelat yang didominasi boneka beruang sebagai hiasannya. Erlan berniat mengajak Lolita suatu saat nanti.

"Kalau gue dulu nggak pergi mungkin gue bisa jadi Lolita. Sayangnya dulu gue pengecut, bukannya berusaha, gue justru lari," ucap Kian lalu tertawa miris.

Melihat Kian, Erlan merasa melihat dirinya sendiri saat menyerah mendapatkan Lavina. Tapi saat ini tak ada lagi kata andai yang mengganggunya. Tak ada lagi penyesalan yang dia rasakan.

"Lo nggak usah jadi canggung sama gue, Lan. Anggep aja gue nggak pernah ngomong apa-apa. Gue udah lega kok meski masih ada penyesalan besar di diri gue."

"Nggak usah canggung? Anggep nggak pernah terjadi apapun? Cewek memang ajaib. Lo pikir gue cowok dengan suatu penyakit yang bisa melupakan sesuatu kejadian atau hal yang gue alami gitu aja?" ucap Erlan dalam hati dengan kening berkerut.

"Lo masih mau lama di sini?" tanya Erlan.

"Kenapa?"

"Gue mau ke rumah Loli."

"Ya udah sana lo ketemu cewek lo. Gue bisa pulang sendiri. Dari kemarin gue juga sendiri."

Dalam hati Kian berharap Erlan tetap di sini bersamanya. Tapi itu tak akan mungkin terjadi. Kian menyesap cokelat panasnya dengan pandangan nanar ke arah punggung Erlan yang kian menghilang.

***

Kini Erlan sudah berada di rumah dengan gaya kontemporer, tepatnya duduk di sofa ruang tamu. Kakinya terus bergerak menandakan dirinya sedikit gugup padahal hanya akan bertemu Lolita. Tapi sekarang rasanya berbeda. Bertambah hari, degup jantungnya semakin nyata terasa lebih cepat dari biasanya.

Saat Lolita akhirnya keluar menemuinya, Erlan tanpa sadar memegang dadanya yang berdebar kencang. Padahal Lolita berpakaian seperti biasanya, kaos putih, celana jeans 7/8, dan sandal rumah berbentuk beruang.

"Ngapain?" tanya Lolita tanpa menyapa terlebih dahulu lalu ikut duduk di sofa.

"Masa pacar dateng ditanya ngapain."

"Terus?" tanya Lolita yang mempertahankan wajah datarnya

"Tanya kabar dong," jawab Erlan yang masih menyembunyikan bingkisan cokelatnya.

"Ih, tadi aja baru chat-chatan."

"Apanya yang baru? Terakhir kan tadi pagi, gue telepon malah dimatiin. Kenapa dimatiin? Kenapa chat gue nggak dibalas?"

"Sengaja."

"Biar apa?"

"Biar lo dateng ke rumah."

Refleks Erlan terkekeh. Lolita memang selalu to the point, tak ada basa-basi sama sekali. Rasa kesalnya sempat diabaikan hilang sudah.

"Buat lo." Erlan menyerahkan bingkisan cokelatnya. "Maaf bikin kesel lo tadi pagi."

Erlan (Spin off Lavina)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang