Kembali ke ruang tamu suasana terasa berbeda, Erlan diam memainkan ponsel. Padahal Lolita sudah kembali dengan hati siap memghadapi gombalan receh Erlan. Tapi cowoknya tetap diam saja.
"Hei, kok diem aja sih?"
"Gue punya namanya bukan hei," balas Erlan tanpa menoleh.
"Ih, kok jadi jutek?"
"Lagi pakai mode marah," ucap Erlan, dengan tangan sibuk menyentuh layar ponsel tak jelas.
"Lha, masa tiba-tiba marah. Aneh!"
"Lo yang aneh." Kali ini Erlan menatap Lolita yang terlihat bingung.
Cewek suka sekali melempar kode, giliran dikasih kode bahkan secara terang-terangan kalau dia sedang marah tetap saja tak mengerti. Bukankah kata pertama yang harus dikeluarkan saat pasangan marah adalah maaf? Pikir Erlan. Meminta maaf juga bukan berarti kalah tapi menghargai pasangan. Tapi Lolita justru menyebutnya aneh.
"Gue siapa lo?" tanya Erlan dengan minik serius.
Tak langsung menjawab justru Lolita mengerutkan kening. "Pake nanya. Kan lo udah tahu jawabannya."
"Temen?" tanya Erlan.
"Iya," jawab Lolita, santai. Tanpa ekspresi bersalah.
"Jadi gue cuma temen?" tanya Erlan lagi tanpa menaikkan nada bicaranya meski hatinya bergemuruh hebat.
"Lo temen, lo partner, lo macem-macem deh paket lengkap. Pokoknya lo spesial."
Mendengar kata spesial, Erlan berdehem. Rongga dadanya sedikit melebar, tak lagi sesak seperti tadi.
"Spesial tapi kenapa nama gue Erlan doang di ponsel lo?"
"Enggak ah, gue tulis nama lengkap lo. Erlan Adhyastha nih, lihat," ucap Lolita lalu menunjukkan ponselnya pada Erlan.
"Ya kenapa cuma nama doang?"
"Lha terus mau ditambahin apa? Kepanjangan kayak gerbong kereta."
Erlan meminum air esnya sampai setengah, berharap air dingin yang dia minum bisa mendinginkan hati dan kepalanya yang membara. Lolita masih saja tak menyadari bahwa dia kesal karena namanya di ponsel cewek itu hanya sekadar nama sementara Galan diberi nama Sayang.
"Sudahlah. Gue pulang dulu."
"Kok buru-buru?"
"Mau berenang biar kepala dingin. Siapa tahu bisa bikin hati yang panas ikut dingin."
"Ish, ada-ada aja. Ati-ati pulangnya. Kalau udah sampai kabarin." Lolita mengikuti Erlan yang berjalan keluar pintu rumah.
"Ya nanti kalau gue inget."
Refleks Lolita memukul lengan Erlan.
"Kok gitu sih?" seru Lolita.
"Lo juga, kok gitu sih?"
"Gitu sih gimana? Lo kenapa sih? Beneran aneh."
"Lo yang bikin gue aneh. Bukannya tanggung jawab malah ngatain gue aneh. Ya udah gue pulang, nanti gue telepon." Erlan membuka pintu mobilnya.
"Siap!"
Mendengar seruan semangat Lolita, Erlan urung masuk ke dalam mobil. Dia membalikkan badan.
"Lama-lama gue peluk juga lo biar jadi cewek nggak cuek-cuek amat."
"Idih, modus aja lo." Lolita menjulurkan lidahnya.
Merasa sia-sia karena Lolita tak juga paham, Erlan pun masuk ke dalam mobil dengan wajah kusut. Dia membuka kaca jendela mobilnya.
"Tadi abang tersayang lo telepon," seru Erlan lalu menyalakan mobilnya tanpa perlu melihat ekspresi Lolita.
Belum sempat keluar pintu gerbang ponsel Erlan berbunyi. Saat melihat siapa yang menelpon, sudut bibirnya terangkat, matanya melirik spion melihat Lolita mengejarnya. Erlan pun berhenti dan mengangkat teleponnya.
"Maaf," ucap Lolita.
"...."
"Buka!" seru Lolita seraya mengetuk kaca mobil.
"Apa?" tanya Erlan dengan kepala bersandar pada jendela mobil yang terbuka.
"Jangan marah!" ucap Lolita lalu memalingkan wajah. Dipandang Erlan dengan jarak terlalu dekat membuatnya malu.
"Masa minta pacar jangan marah galak gitu nadanya. Bujuk dulu dong," ucap Erlan.
"Nggak mau. Nggak boleh marah pokoknya."
"Gue di sini lo, masa lihatnya ke pos satpam." Erlan menarik dagu Lolita.
"Ih, jangan senyum-senyum gitu," ucap Lolita.
"Marah salah, senyum salah. Terus gue suruh gimana, Sayang?"
Wajah Lolita seketika memerah hingga telinga. Erlan yang melihat tak bisa menahan diri untuk tak tersenyum lebar hingga giginya terlihat. Tangannya pun terulur, gemas mengusap puncak kepala Lolita.
"Ketawain aja gue," ucap Lolita masih dengan mempertahankan ekspresi jual mahal meski kulit wajahnya mengartikan berbeda.
"Enggak. Ya udah sana balik. Gue pulang dulu."
"Tapi udah nggak marah kan?" tanya Lolita.
"Tergantung," balas Erlan, membuka pintu mobil dan kini mereka berdiri saling berhadapan.
"Kok tergantung?" tanya Lolita.
"Ya tergantung seberapa besar bujuknya."
"Ih... Erlan!"
"Iya, Sa—" Lolita langsung menutup mulut Erlan hingga tak bisa menyelesaikan ucapannya. Mata Lolita melotot lebar, memperingatkan dan Erlan tak bisa lagi menahan tawa.
"Jangan marah lagi," ucap Lolita setelah mengambil napas panjang dan mengembuskan perlahan. Dia menunduk dengan tangan menarik ujung kaos Erlan.
"Gue lupa belum ganti nama bang Galan di kontak. Maaf ya? Udah ini yang terakhir, gue nggak mau bilang lagi."
Bagaimana bisa marah kalau punya pacar seunyu ini? Pikir Erlan. Lagipula dia tak benar-benar marah, hanya cemburu, dan mungkin iri. Erlan merapikan rambut Lolita dan mengangkat wajah pacar barunya hingga mereka saling menatap dengan jarak sangat dekat. Erlan bisa melihat pantulan dirinya di mata Lolita yang berwarna cokelat.
"Iya, gue nggak marah lagi. Terserah nama gue apa di ponsel lo yang penting ada nama gue di hati lo dan cuma gue, nggak ada yang lain. Oke?"
Lolita mengangguk cepat.
"Ya udah gue balik dulu. Sebenernya gue mau jemput nyokap sama bokap di bandara. Hari ini mereka pulang."
"Ya. Hati-hati ya?"
"Siap. Gue akan selalu hati-hati demi bisa ketemu pacar lagi." Erlan tertawa lagi, sungguh lucu setiap melihat ekspresi Lolita saat digombali. Sok jual mahal tapi wajah merah seperti kepiting rebus, apalagi dengan kulit Lolita yang putih.
***
Yeay!! Sesuai janji aku update lagi.
Part ini gimana? Gemesin yah mereka.
Moga kalian suka.
Jangan lupa vote dan komentaranya.
Thank youLove, ainunufus
KAMU SEDANG MEMBACA
Erlan (Spin off Lavina)
Teen FictionKamu yang selalu kurindu Tapi dia yang selalu ada di matamu Kamu yang selalu jadi prioritasku Tapi dia yang selalu kamu tuju Kamu segalanya buatku Tapi dia segalanya di hatimu ~~~~~~~ Ini tentang Erlan yang selalu suka pada cewek yang hatinya milik...