(Alexa, Bulan)
Lagu ini kayaknya pas deh buat part ini.Malam prom tiba, harusnya menjadi malam paling indah bagi anak-anak kelas XII yang akhirnya melepas status menjadi pelajar SMA dan naik tingkat akan menjadi mahasiswa. Tapi tidak dengan Erlan Adhyasta.
Semua yang terjadi malam ini seperti mimpi dan bom atom yang datang tanpa permisi. Meledak, membuatnya tertegun tak mampu berkata-kata. Hanya matanya yang menyorot tak percaya.
Malam ini di dalam ballroom hotel bintang lima, dia dengan setelan jas berdiri dengan kaki yang bergetar di antara keramaian acara. Matanya menatap Lolita dengan gaun warna jingga tak berkedip. Gadis itu baru saja mengatakan putus tanpa ekspresi padanya.
"Sorry. It's over," ulang Lolita.
Erlan menelan saliva dengan kesusahan. Ucapan Lolita mendengung di telinganya.
"Why?" Erlan masih kesulitan bicara. Tangannya meraih bahu Lolita tapi cewek berbibir tipis itu menepisnya.
"Sorry. Gue nggak bisa. Bagaimana pun gue berusaha, gue tetap nggak bisa ngebuang memori masa lalu lo. Ini murni kesalahan gue."
"Lo cemburu?"
"Bukan tentang cemburu atau nggak. Gue nggak bisa hidup dengan perasaan kayak gini terus-terusan. Sorry."
"Gue sayang sama lo," ucap Erlan dengan tangan mengepal menahan diri untuk tak memeluk Lolita.
"Gue nggak sayang lo."
"Bohong."
"Kalau gue sayang lo. Gue nggak akan mempermasalahin masa lalu lo. Gue punya pilihan dan gue milih untuk putus. "
"Kalau gue nggak mau?" Erlan meraih jemari Lolita dan memegang kuat meski Lolita berusaha menarik diri.
"Itu urusan lo."
"Gue nggak akan bilang lo egois. Karena gue lebih egois dari yang lo pikir. Gue nggak mau putus," ucap Erlan penuh penekanan.
"Terserah lo. Tapi gue nganggep kita udah selesai," balas Lolita dengan menarik tangannya keras hingga terlepas dari Erlan.
Lolita memutar badan, meninggalkan Erlan yang terdiam, kaget. Dia masih tak percaya dengan apa yang dia alami baru saja. Karena tadi pagi Lolita baru bertemu orang tuanya dan semua masih baik-baik saja. Tapi kenapa malam ini begini?
Erlan mengusap rambutnya kasar, memcari keberadaan Lolita dan meminta penjelasan lebih. Lebih tepatnya Erlan akan mengakatan dengan sangat keras bahwa dia tak ingin putus dan menganggap apa yang dikatakan Lolita hanya omong kosong belaka.
Matanya mencari sosok Lolita di tiap meja bundar di dalam ruangan. Tapi tak ada cewek berponi pagar yang dia cari. Bahkan di meja Lavina hanya ada Lavina, Arsenio, dan Widi.
Hatinya bergemuruh hebat, matanya sibuk mencari. Sapaan teman-temannya pun dia abaikan. Matanya memancarkan api saat melihat sosok yang dia cari tengah tertawa lebar bersama teman-teman. Bagaimana bisa Lolita memiliki hati sekeras batu seperti itu?
Erlan melangkah lebar, menarik bahu dan memaksa Lolita mengikutinya, menjauhi kerumunan.
"Apa lagi?" tanya Lolita dengan mata menyalak. Menepis tangan Erlan yang memeluk bahunya paksa setelah mereka berada di luar ballroom.
"Gue nggak mau putus."
"Terserah," balas Lolita, cuek.
"Gue nggak mau putus, Loli."
"Itu urusan lo. Tapi gue nganggep kita putus."
"Kenapa? Nggak ada masalah yang nggak bisa diselesaikan. Kita bisa bicarakan baik-baik."
"Memang. Dan gue nyelesaiin masalah gue dengan putus."
"Hanya karena gue pernah suka Lavina lo minta putus? Itu nggak adil. Itu masa lalu gue, dan lo masa depan gue."
"Gue bilang gue nggak sayang lo."
"Coba lo bilang sekali lagi dan tatap mata gue."
Bibir kiri Lolita naik, tersenyum sinis. Tangannya meraih wajah Erlan hingga mereka saling berhadapan dan dia bisa melihat pantulan wajahnya di mata Erlan.
"Gue nyesel jadian sama lo. Puas?"
Setelah mengatakan hal itu Lolita pergi. Bukan kembali masuk ke dalam ruangan tapi keluar dari hotel itu. Sementara Erlan berdiri kaku di tempat. Merasa seolah jiwanya dipaksakan keluar dari raganya. Menyesal bukan kata yang ingin Erlan dengar. Itu menohok jantungnya seketika.
***
Prom night, benar-benar malam yang tak terlupakan bagi Erlan. Dia masih tak percaya kini statusnya menjadi cowok jomblo lagi. Pagi ini jadi pagi terburuk baginya. Langit terlihat suram meski matahari telah menyilaukan.
Seperti biasa Erlan duduk di meja belajar, dengan jendela kamar yang dia buka. Memainkan ponselnya, membuka kontak Lolita tapi urung dia hubungi. Terus begitu berulang kali selama 2 jam. Benar kata Arsenio saat itu, patah hati berulang namanya hancur. Ya, dia merasakan hatinya hancur hingga tak tahu harus berbuat apa. Mengumpulkan serpihan hatinya dia sudah tak mampu. Lolita sukses membuatnya jadi debu.
Jika begini situasinya, akankah dia tetap ikut acara bersama Lavina dan kawan-kawan? Erlan bimbang. Akankah Lolita juga akan datang? Pertanyaan itu mengusiknya. Dia ingin bicara sekali lagi dengan Lolita karena merasa semua belum selesai. Keputusan sepihak Lolita terlalu tiba-tiba. Rasanya tak masuk akal. Tapi saat ini dia masih belum punya nyali untuk kecewa yang kedua kali jika harus bertemu Lolita dan menanyakan semua keresahannya. Bahkan pesan terakhirnya terbaca tanpa terbalas.
Pesan singkat dari Bani yang mengatakan akan berkumpul di rumah Lolita pukul 2 siang, ragu untuk dia balas. Hingga Bani menghubunginya lewat telepon.
"Halo," sapa Erlan.
"Halo. Lo nanti jemput Lolita dulu atau langsung ke rumah Lavina?"
"Nggak tahu. Kenapa?"
"Gue nanya malah balik nanya."
"Lo udah tahu jawabannya kenapa pakai nanya?" tanya Erlan.
"Ya siapa tahu lo mau langsung ke rumah Lavina kan lebih deket daripada lo jemput cewek lo dulu."
"Kalau lo mau jemputin cewek gue, silakan," ucap Erlan dengan nada datar.
"Elah malah gue denger nada-nada cemburu. Gue nanya karena gue mau langsung ke rumah Lavina nggak mampir tempat Loli. Gue dari rumah saudara gue. Jadigue minta tolong koordinir anak-anak yang kumpul di tempat Loli ya? Maksud gue gitu."
"Kenapa nggak lo ngomong sama Loli yang punya rumah?"
"Kalau gue bisa hubungi dia, gue nggak perlu nelpon lo."
"Oh."
"Heh, lo kenapa?" tanya Bani di ujung telepon.
"Kenapa apanya?"
"Beda aja. Lo bukan lagi putus cinta kan?" ledek Bani dengan tawa di ujung kalimat.
Lucu untuk Bani tapi sakit untuk Erlan. Hatinya mungkin sudah terlatih cinta sendiri, tapi hatinya tak terlatih untuk patah hati karena putus cinta. Erlan menyudahi obrolan sepihak. Dia beranjak dari posisinya, berniat memainkan bola basket demi menghilangkan ekspresi patah hatinya.
***
Love, ainunufus
KAMU SEDANG MEMBACA
Erlan (Spin off Lavina)
Teen FictionKamu yang selalu kurindu Tapi dia yang selalu ada di matamu Kamu yang selalu jadi prioritasku Tapi dia yang selalu kamu tuju Kamu segalanya buatku Tapi dia segalanya di hatimu ~~~~~~~ Ini tentang Erlan yang selalu suka pada cewek yang hatinya milik...