PROLOG

40 7 2
                                    

Seorang gadis berlari-lari kecil menyusuri lorong-lorong panjang sekolah. Rambutnya yang diikat ekor kuda melambai-lambai bergantian ke kanan dan ke kiri. Sesekali poni yang baru saja ia potong beberapa hari yang lalu ikut bergoyang kecil. Ia tak memedulikan orang-orang yang berlalu lalang hendak menyerbu kantin sekolah−tetap melaju dan membelah lautan manusia. Sebenarnya perutnya sudah merasa lapar mengingat hanya segelas susu sapi segar saja yang sempat ia teguk tadi pagi sebagai sarapan. Karena itu ia semakin mempercepat langkah kakinya dan terus berlari menuju sebuah kelas.

"Abel!"

Gadis itu menghampiri seorang gadis lain yang tengah duduk di bangkunya. Sweater yang merupakan bagian dari seragam sekolahnya teronggok menyedihkan di atas meja tulis. Ia tak memedulikan seruan temannya, malah menyibukkan diri. Jemari lentiknya bergerak meraih earphone. Menyumpal saluran telinganya dengan benda itu.

Melihat itu, si gadis kucir kuda berdecak kesal. Merasa terabaikan. Ia menarik tangan temannya sampai berdiri.

"Ih, Abel! Gue tahu lo pura-pura nggak denger, kan?"

Si gadis ber-earphone hanya memutar bola matanya, tak kalah kesal.

"Ikut gue, yuk!" ajak si gadis kucir kuda.

Gadis ber-earphone itu diam saja tak melontarkan protes atau semacamnya walaupun dalam hati dongkol setengah mati. Ia mengekor di belakang temannya yang senantiasa menggenggam tangan kanannya. Bukan pilihan yang buruk karena sejujurnya ia sedang malas berurusan dengan orang-orang yang tengah berisik di dalam kelas. Karena itu pula ia memilih tenggelam dalam earphone dan iPod kesayangannya.

Langkah mereka berhenti di lantai tiga gedung sekolah bagian selatan. Gadis ber-earphone mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sepi dan sunyi, itulah yang ia rasakan. Seolah tak ada kehidupan. Terang saja, sebab lantai teratas ini memang jarang digunakan. Dulunya terdapat ruang siaran di lantai ini sebelum klub radio sekolah bubar beberapa tahun yang lalu. Si gadis kucir kuda berjalan menuju arah ruang siaran, diikuti oleh gadis ber-earphone.

Ruang siaran itu masih terisi peralatan untuk mengudara. Beberapa piranti terlihat dalam kondisi bagus dan ya, sepertinya masih bisa berfungsi dengan baik. Selebihnya peralatan sudah rusak dan lebih layak untuk dirombengkan di tukang loak atau besi tua. Terlepas dari itu, di sudut ruangan yang berdebu dan pengap itu terdapat sebuah jendela. Kondisinya tak lebih baik dari keadaan ruang siaran. Kacanya sudah pecah dan entah ke mana hilangnya. Kusennya pun sudah agak lapuk dimakan rayap.

"Eits, jangan!" seru gadis ber-earphone tiba-tiba. Dilepasnya earphone yang sedari tadi menggantung di telinga. Ia menghampiri si gadis kucir kuda yang sekarang tengah menaiki kusen jendela dan bersiap mengambil ancang-ancang untuk melompat ke luar.

Si gadis kucir kuda hanya terkekeh lalu melompat sungguhan. Mau tak mau temannya ternganga, namun tak ada suara yang mampu keluar. Tenggorokannya tercekat, suaranya menguap entah ke mana, mulutnya serasa bisu mendadak. Namun jantungnya jumpalitan tak karuan, membayangkan insiden apa yang akan terjadi kemudian. Ia pun bergegas melongok ke luar jendela. Menengok ke bawah dan memastikan sendiri. Tapi nihil. Si gadis kucir kuda temannya itu tak ada di bawah sana. Lalu ke mana perginya?

"Ngapain bengong? Cepet lompat ke sini."

Suara berat khas lelaki menyentak si gadis earphone. Ia mendongakkan kepala dan mendapati dua orang berada di sebuah balkon milik gedung lain di seberang. Si gadis kucir melompat ke sana rupanya. Sekarang ia malah terkikik. Apalagi kalau bukan untuk mencemoohnya.

"Cepetan! Gue hampir mati gaya nunggu kalian berdua. Lelet banget," ujar si lelaki dengan nada sedikit memerintah.

Si gadis earphone mendengus lalu menyimpan earphone miliknya di kantong rok seragam bermotif kotak-kotak. Ia tak suka diperintah. Tak sampai lima detik kemudian, ia melompat. Bergabung dengan kedua temannya di balkon seberang ruang siaran. Lumayan juga nyalinya. Butuh keberanian lebih untuk bisa melompat, mengingat jarak kedua tempat itu hampir mencapai tiga meter dengan ketinggian tiga lantai gedung. Setelah membersihkan kedua lututnya yang sempat menjadi tumpuan, ia berdiri. Berjalan mendekat pada dua orang di hadapannya,

"Ada apa? Kurang kerjaan banget," desisnya dengan nada ketus.

Si gadis kucir kuda hanya tersenyum simpul dan menarik lengan temannya menuju sisi lain balkon. Kakinya melangkah ke arah sisi barat balkon. Kini lengannya merangkul bahu temannya. "Look! This is the best place to catch a sunset!" bisiknya.

Sunset? Di balkon gedung sekolah? Yang benar saja! gerutu si gadis earphone dalam hati.

"Hmm.. masa?"

"Trust me. Tomorrow, we'll see the best sunset you've ever seen."

"In your dream! Ogah gue mesti datang ke tempat ini lagi!" sungut si lelaki yang kini berdiri menyejajari kedua temannya.

Ucapan lelaki itu membuat si gadis earphone menoleh. Jarang sekali mereka berada dalam satu suara seperti ini. Melihat tanda-tanda persekutuan, si gadis kucir kuda langsung menyikut lengan teman lelakinya.

"Ah elah, cuma besok doang kok. Pokoknya gue nggak mau tahu. Besok sore jam setengah enam sore kita bertiga harus ada di sini. All of us. Abel-Amal-Ajat."

Kedua teman yang berada di sisi kanan dan kirinya hanya bisa menghela napas panjang. Percuma beradu mulut karena semua sudah tahu pasti siapa pemenangnya. Orang satu itu kalau punya kemauan memang sangat keras kepala dan teguh pendirian. Bahkan terkadang lebih suka seenaknya sendiri.

"Oke. By the way," ucap si lelaki, "ini bisa jadi basecamp yang bagus buat gue."

"Lo mau menggambar di sini?" tanya si gadis kucir kuda.

"Apa salahnya? Daripada gue cuma nunggu sunset nggak jelas, kan?"

"Shit!" umpat si gadis kucir kuda."Lo kira gue kurang kerjaan?"

"Emang bener, kan?" 

Kini si gadis kucir kuda mencebik tak terima."Iyaaa ... emang gue tuh yang paling kurang kerjaan di antara kalian. Dan lo, Abel. Gue tau kalau lo sering nggak nyaman dengan lingkungan sekolah ini. Jadi kalau lo lagi suntuk dan pengin teriak-teriak nggak jelas, ke sini aja. Luapin semua di sini."

Gadis ber-earphone melirik sekilas. Wajahnya bersemu merah. Ketahuan juga kalau ia suka selalu bersembunyi di balik topeng yang selalu tersenyum. Akhirnya ada juga ruang dan waktu di mana ia tak perlu mengenakan perisai diri. Entah mengapa ia merasa ingin menggenggam telapak tangan temannya itu. Bukan hanya ia, tetapi lelaki yang sedari tadi memerhatikan gerak-geriknya pun ikut saling menggenggam.

"Anggap saja ini sebuah ruang khusus untuk kita bertiga. Tempat kita curhat, main, bolos, seneng-seneng, nangis, galau, atau bahkan sekedar lihat sunset bareng."

Ya, benar. Anggap saja begitu. Bukankah kita selalu butuh ruang seperti itu? Ruang yang perlu kita isi di masa sekarang dan mengenangnya di masa depan.


***



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RUANG RINDUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang